Menumbuhkan Cinta Hutan dengan Pangan dari Hutan



Nikmatnya Makanan Hutan Dalam Kisah Ibu

Berpuluh-puluh tahun lalu, ibu selalu menceritakan kepada saya betapa indah masa kecilnya bersama buah-buahan eksotis dan masakan dari pedalaman Kalimantan. Beliau lahir dan menikmati masa kecil di sebuah kampung dekat hutan di Kalimantan Selatan. Sedangkan saya lahir di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Saya terbawa masuk dalam kisah ibu, tentang nikmatnya memetik sendiri durian berwarna merah, memanjat pohon langsat, mencicipi rasa mangga yang manis dalam ramania, makan buah kapul, duku hutan (ihau), tarap, maritam (rambutan hutan), putaran, hambawang, lahung, keledang, kasturi, rumbia, mundar. Belum lagi sayurannya yang diambil dari buah-buah langka dan masyarakatnya yang mencari sendiri kulat (jamur) untuk disup. Semua langsung terbayang lezatnya.
Cerita-cerita ibu tentang keindahan hutan Kalimantan yang belum saya lihat (saat itu) melekat kuat dibanding keindahan hutan-hutan yang dihuni peri dan putri yang sering saya lihat di buku-buku dongeng. 

Jauh sebelum mendapat sebutan kota minyak, Balikpapan pun adalah hutan yang kemudian dibangun menjadi kota yang indah bersama-sama masyarakat multietnis. Sampai sekarang masih tersimpan kekayaan hutan di kota ini, meski jauh berkurang. 

Setidaknya, ketika dewasa saya beruntung pernah mencicipi buah-buahan hutan meski tidak sebanyak referensi yang dimiliki ibu. Akhirnya saya tahu rasa cempedak, elai/lai (sebangsa durian berwarna kuning tanpa aroma), buah kapul, ramania, langsat, kecapi dan diajari memetik kulat untuk dimasak.

Jika Anda pernah mampir di halaman ‘about’ blog ini, maka Anda akan menemukan tulisan: Seorang Ibu Rumah Tangga yang tinggal berdekatan dengan hutan...”   Iya, setelah beberapa tahun berumah tangga saya pun tinggal berdekatan dengan hutan. Biasanya setiap pagi pada akhir pekan, kami berjalan-jalan ke hutan, mengisi paru-paru dengan oksigen sekaligus mencari kuliner di hutan. Kedengaran lucunya ya? Karena kalau beruntung, saya bisa menemukan umbi-umbian, buah-buahan liar, tanaman liar yang bisa dimakan seperti tanaman paku/pakok/pakis, daun singkong gajah, atau rezeki tiba-tiba dari berkenalan dengan orang yang behuma (berladang di hutan). Kalau beruntung, saya juga akan menemukan hewan-hewan seperti monyet, tupai, burung-burung yang hidup di dalam hutan. Ada pula napenthes yang bergerombol secara alami. Begitulah, hutan sumber pangan bagi manusia dan juga bagi mereka. 

kantung semar
Tapi, itu dulu. Kini hutan di seberang mata sudah beralih fungsi menjadi perumahan, menyisakan potongan-potongan hutan dan ular yang berkunjung ke rumah warga mencari makan.

Bicara tentang makanan dari hutan, tidak lengkap rasanya tanpa menunjukkannya.Tapi maaf, saya baru bisa menyuguhkan kisah, belum bisa menyajikan hidangan asli kepada tamu blog ini.

Hidangan yang Berasal dari Hutan

Seringkali saya menjumpai nenek-nenek penjual sayur hasil hutan di pasar. Jika Anda bertemu pedagang dadakan yang sudah sepuh ini, yang biasanya menjual hasil petikan sendiri, saya sarankan belilah dagangan mereka. Sayuran mereka biasanya lebih segar dan berbeda, buah-buah mereka juga masak dari pohon, dan mereka tidak setiap hari ada di pasar. Maka, saya sudah mempunyai cempedak untuk dijadikan lauk. 

Anda tahu cempedak

Cempedak adalah saudara jauh nangka. Cempedak sangat terkenal di Kalimantan. 99% buah ini bisa diolah dan dimakan : buahnya, biji buahnya, kulitnya. Cempedak banyak mengandung Vitamin A dan vitamin C. Dalam 100 gram cempedak mengandung energi sebesar 116 kkal, protein 3 gr, lemak 0,4 gr, kalsium 20 mg, fosfor 30 mg, zat besi 2 mg, vitamin A 200 IU, karbohidrat 28.6 gr, dan vitamin C 15 mg. Buah cempedak selain enak dimakan begitu saja, lezat pula diolah menjadi sanggar cempedak (persis seperti pisang goreng yang dibaluri tepung lebih dahulu). Sanggar cempedak menjadi kegemaran masyarakat di sini dan harganya lebih mahal dari sanggar pisang. 

Kulit cempedak atau tiwadak disebut MANDAI dalam bahasa Kalimantan Selatan. Mandai sering dijadikan lauk yang sangat lezat. Even you hate Monday, you must be in love with Mandai. Begitu kelakar teman-teman Kalimantan.

Mandai juga disinyalir mampu mencegah parasit yang berkunjung ke tubuh, mencegah anemia, dan memiliki antioksidan yang tinggi. Pastinya, yang susah dielak nih, mandai sangat bermanfaat untuk menambah nafsu makan.

LAUK MANDAI

- CARA KAMPUNG
Cara ini adalah cara yang paling tidak merepotkan di antara cara lain. Cempedak yang nyaris matang cukup dibakar langsung. Setelah itu dibuka dan dimakan isinya bersama nasi dan sayur. Sederhana sekali.

ilustrasi mandai bakar
- CARA TRADISIONAL
Cara ini adalah cara paling terkenal dan turun-temurun dari masyarakat Banjar, masyarakat yang mengenalkan mandai ke umum. Setelah kulit mandai dibersihkan dengan membuang bagian kerasnya (kulit paling luar) mandai dipotong persegi, lalu direndam di air garam dan disimpan dalam toples hingga berhari-hari. Kalau ingin dimakan barulah digoreng atau dimasak.



- OSENG-OSENG MANDAI ALA SAYA
Sepertinya saya memilih cara ketiga, karena merasa sayang kalau dibakar semua dan malas menyimpan mandai terlalu lama, bisa pengen berat nantinya :
1. kupas perlahan pinggiran kulitnya yang keras.
2. potong-potong, cuci bersih.
3. haluskan : 4 bawang merah, 3 bawang putih.
Caranya :
- Siapkan sedikit minyak untuk mengoseng, masukkan bumbu halus hingga beraroma.
- Masukkan mandai yang sudah dipotong kecil. Masukkan sedikit asam, gula merah dan air.
- Tambahkan pula kaldu bila suka. Aduk terus hingga empuk dan air berkurang.
- Beri garam, merica, potongan cabai, daun jeruk dan daun salam. Aduk lagi.
- Mandai yang masak sempurna akan empuk dan mudah digigit.
hasil : oseng-oseng mandai

LAUK DAUN KELOR

Nama daun kelor makin melambung dewasa ini, semenjak tersyiar khasiatnya yang ajaib. Vitamin C kelor yang tujuh kali lebih banyak dari jeruk, vitamin A-nya empat kali lebih banyak daripada wortel, kalsiumnya empat kali lebih banyak dan proteinnya dua kali lebih daripada susu, serta mengandung potasium 3 kali lebih banyak dibanding pisang, sehingga membuat kelor menjadi incaran produk kesehatan dan kecantikan selain untuk dikonsumsi.

Saya suka membuat sayur bening daun kelor, tapi kali ini kelornya akan saya jadikan lauk dalam telur dadar.

SAYURAN

-          -  Daun Singkong
Sebagai pelengkap menu, saya mengambil daun singkong untuk disantan. Daun singkong liar biasanya bergerombol dan pastinya tidak ada pemiliknya. Daun singkong yang tinggi serat ini baik untuk melancarkan pencernaan, selain itu juga mengandung protein yang baik untuk memperbaiki dan membentuk jaringan tubuh.
sebelum dimasak

siap disantap
 Daun Kates
Selanjutnya saya memetik daun kates liar untuk lalapan. Sepanjang saya mengenal kates atau pepaya, menurut saya ini adalah salah satu tanaman ajaib. Bisa tumbuh bebas tanpa diurus, dan berkat daunnya yang pahit, jarang sekali ulat mau memakannya sehingga bisa dijadikan pestisida organik. Daun kates mengandung antioksidan yang tinggi, baik untuk mencegah radikal bebas. 

Disebut bisa mengatasi nyeri menstruasi dan paling sering dicari untuk mengatasi demam berdarah dan malaria. Karena pada daun kates mengandung acetogenin yakni komponen antimalaria. Perasan daunnya pun dapat meningkatkan trombosit darah serta mengurangi infeksi akibat demam berdarah. 
daun kates/pepaya dan daun harendong bulu
Bagi Anda yang ingin melalapnya dan ingin mengurangi rasa pahitnya, daun kates bisa dimasak bersamaan dengan daun harendong bulu yang mudah sekali ditemukan di hutan.
Daun yang mempunyai nama latin clidemia hirta ini juga bisa dimanfaatkan untuk menghilangkan lendir pada ikan maupun lauk yang mau dimasak.  Lagi-lagi, daun ini saya cari dan petik sendiri. 

Kini tinggal membuat sambal yang lezat.

BUAH-BUAHAN(RAMBUTAN, LANGSAT, LAI)


Sedangkan buah-buahannya, masih tersisa langsat, lai, dan rambutan. Jika Anda tidak tahu apa itu langsat, mungkin Anda familiar dengan nama duku, karena di luar Kalimantan begitulah disebut.

Buah selanjutnya adalah elai/lai, buah ini berwarna kekuningan dengan duri yang tidak terlalu tajam, dan tidak beraroma. Rasanya tidak se-creamy durian dan tidak sebasah durian. Khusus untuk Anda yang ingin menyantap durian tapi tidak suka dengan baunya, cobalah buah ini.

PELENGKAP : MINUMAN MADU HUTAN 

Saya baru saja panen jeruk nipis, jadi kepikiran untuk mencampurnya dengan madu hutan Wanyi Borneo sebagai minuman. Madu hutan tidak sekental madu ternak dikarenakan sifat hutan yang basah. Manfaat madu ini sungguh ‘wow’ banyak sekali, sebagai antiinflamasi, pengendali gula darah, sumber energi, mencegah racun, jamur dan bakteri, pencegah sakit dan demam, mengandung antioksidan dan berbagai vitamin. Saya biasa mengonsumsi madu sebagai penambah cita rasa minuman, olesan makanan, ata dikonsumsi begitu saja dalam sendok takar. Efeknya luar biasa. Kalau diingat-ingat saya memang jarang sakit.

Pas banget, madu hutan ini mau habis, sekalian saja diberi es untuk menikmati siang yang panas. 

Nah, akhirnya lengkap juga menu saya, siap dihidangkan. Alhamdulillah.

Menumbuhkan Cinta Hutan dengan Mengenal Makanan Hutan

Pernahkah Anda menyukai sesuatu namun susah sekali menjelaskan mengapa menyukainya? Suami saya asli suku luar Kalimantan awalnya tidak mengerti kenapa ada orang suka kulit cempedak, sampai dia sendiri memakannya. Saya menyukai mandai karena diperkenalkan sejak kecil. Saya cinta sayuran dan buah-buahan karena dibiasakan sedari dini. Ternyata pembiasaan dari kecil sangat berguna, dan makanan dari hutan yang dikisahkan berulang kali baik untuk menumbuhkan pesan di kepala saya.

Saking suka sama buah, saya sampai bawa-bawa nama buah sebagai nama blog. Benar, semua kecintaan ini berasal dari ibu. Tapi, dalam cerita-cerita itu, ibu tidak hanya menyuburkan rasa penasaran saya tentang makanan hutan, tapi juga melibatkan rasa bahagia memiliki hutan.

Ibu tidak hanya menyuburkan 
rasa penasaran saya 
tentang makanan hutan, 
tapi juga melibatkan rasa bahagia memiliki hutan.

Hutan di negeri kita ini luar biasa. Sejak dulu kita sudah diberi kabar gembira tentang hutan di Indonesia sebagai paru-paru dunia. Sejauh yang saya tahu, ada dua hutan yang disebut sebagai paru-paru dunia, yakni hutan amazon dan hutan Indonesia, dengan penyumbangnya yakni hutan Kalimantan. Makanya, saya tidak heran ketika ada yang mengkhawatirkan hilangnya hutan saat perpindahan Ibu Kota Negara diumumkan. Itu sisi positif seorang manusia yang punya rasa cinta terhadap hutannya.

Di Balikpapan sendiri beberapa hutan alaminya masih ada, termasuk hutan kota, hutan lindung dan hutan wisata. Setidaknya ada 20 titik hutan kota, yang total luasnya sekitar 120 ha (kaltim.bps.go.id) yang saya pikir belum termasuk hutan yang ada di Kebun Raya Balikpapan, dan pastinya belum termasuk hutan mangrove. Setiap hutan punya potensi untuk menghasilkan keanekaragaman hayati yang dapat dikonsumsi. Seperti baru-baru ini Kebun Raya Balikpapan mengumumkan lewat media sosialnya bahwa artocarpus lanceifolius alias keledang telah berbuah dan siapa pun yang berkunjung bisa menikmati buahnya yang jatuh secara bebas di hutan itu. 

Ketika saya menuliskan cerita ini, saya punya harapan Anda akan ‘ngiler’ sejenak dengan kuliner hutan yang saya sebutkan di atas, dengan begitu Anda akan mempertimbangkan untuk lebih mencintai hutan yang menjadi kebanggaan negeri ini. Karena mengenalkan aneka ragam makanan dari hutan adalah upaya mengajak untuk mengenal hutan itu sendiri. Tak kenal maka ta’aruf-lah. Dari kenal berubah sayang, dari sayang menjadi lebih peduli dengan hutan. Sejalan dengan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), organisasi yang memproklamirkan kepeduliannya terhadap hutan dan lingkungan. Sebagaimana kita tahu, pada 22 April dunia memperingati Hari Bumi, sayangnya setiap tahunnya masih terjadi deforestasi, baik penggundulan, kebakaran dan pengalihan fungsi huta. Contohnya, setiap tahun ada saja kebakaran hutan. Tahun 2019 lalu, tagar #melawanasap kembali menjadi trending. Untuk saudara-saudara kita yang tinggal di Sumatera dan Kalimantan (termasuk saya) tahu dong gimana rasanya berkubang asap.

Deforestasi yang terus terjadi ini dapat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang Bumi miliki. Iniah yang terus disuarakan oleh WALHI yang turut serta mengedukasi masyarakat lewat organisasinya dan para aktivisnya.

Konsumsi Makanan yang Bersumber dari Hutan Karena Kemiskinan ?

Ada orang-orang yang berasumsi makan daun-daunan dan hasil hutan itu karena kesulitan ekonomi, atau dianggap orang kampung, atau karena tidak ada makanan lain. Menurut saya, ada beberapa aspek yang menyebabkan cara berpikir demikian :

1. Bisa Jadi Kurangnya Interaksi Masyarakat dengan Hutan atau pun Alam.
Beberapa teman saya tidak nyaman berekreasi ke hutan, meski di Balikpapan sendiri tersedia ekowisata hutan. Saya kemudian merinci lagi jawaban mereka yang beragam: 
  • panas, karena Balikpapan cenderung panas, meski di hutan banyak pepohonan; 
  • ada yang tidak tahu apa yang mau dilihat di hutan, karena mereka tidak nyaman sekadar melihat pohon-pohon dan hewan; 
  • karena kulinerannya tidak ada, ini kebiasaan warga Indonesia yang senang makan-makan, nongkrong makan-makan, pengajian makan-makan, kerja kelompok makan-makan, jadi ke hutan pun inginnya makan-makan. Poin ini bisa diatasi dengan menyediakan sentra jajan yang produknya bisa berasal dari hutan, tentunya ini membutuhkan banyak catatan dan pengelolaan, sehingga orang tidak hanya datang untuk makan-makan, tapi juga teredukasi dari kuliner hutan itu.
2. Teknik Mengolah Makanan yang Masih Tradisional
Saya sudah menyebutkan cara memasak mandai bukan? Dari cara memasaknya yang ala kampung, tradisional dan modifikasi sesuai selera. Seiring perkembangan, mandai diolah lagi menjadi kuliner bermerk dalam ruang-ruang UKM. Sebut saja MandaiNoor, satu produk olahan mandai crispy paling terkenal di Balikpapan, yang terus melejitkan usahanya sebagai produk ekspor. Olahan produk hutan dalam kemasan yang telah dibranding akan memudahkan masyarakat untuk mengenal kuliner itu sendiri.
dari instagram @mandainoor
Komparasi olahan kuliner antara cara tradisional dengan modern sering terjadi di beberapa kalangan masyarakat. Meski kini, teknik mengolah makanan secara tradisional pun banyak diangkat di restoran-restoran terkemuka. Tapi, ada hal mesti digarisbawahi : hutan dapat menjadi sumber pangan dan bukan menegaskan hutan adalah sumber pendapatan, artinya jangan sampai terangkatnya kuliner hutan menjadi penyebab hilangnya hutan. Justru sebaliknya, dengan terangkatnya pangan hutan akan menjadi akar kelestarian hutan. Seperti pola masyarakat terdahulu yang mengambil pangan dari hutan dan tetap menjaga keabadian hutan.

3. Tidak Tahu Manfaat Makanan Hutan
Anda tahu ciplukan? Buah itu sering saya petik di hutan saat masih kecil dan dijadikan bahan permainan. Kini, ciplukan merambah pasaran dengan harganya yang membuat mata saya terbelalak. Pasar membutuhkannya karena banyak diketahui manfaatnya. Seandainya sewaktu kecil saya sudah tahu manfaat ciplukan, enggan rasanya saya buang, lebih baik dijual ke para orang dewasa yang membutuhkan saat itu. Nah, begitulah kalau sesuatu jadi kita manfaatnya, nilainya pun akan bertambah.

Impian saya bisa masuk hutan setelah mendengar kisah ibu memang tidak butuh waktu lama. Saat kelas 6 SD, saya sering berkunjung ke rumah teman yang dekat hutan. Kami sering main di dalamnya, mencari jambu monyet dan kelubut/rambusa (passiflora foetida). Kami pernah tersesat, kehausan dan kelaparan lalu minum air dari tetesan-tetesan daun dan mengumpulkan karamunting untuk dimakan.
karamunting
Saya masih senang ke hutan saat remaja. Pernah suatu waktu menjelajah hutan bersama orang-orang kampung dari suku tertentu. Baru kali itu saya melihat orang memanjat dalam hitungan detik di pohon besar yang tinggi menjulang tanpa alat bantu untuk mengambil makanan. Padahal usia orang ini sudah sepuh, pikir saya saat itu. Saya berasumsi kekuatan prima mereka bersumber dari pangan yang ada di hutan. Banyak sekali makanan yang disediakan di hutan dari biji-bijian, kacang-kacangan, pati, umbi, madu, sayuran hutan hingga hewan (yang aman lagi halal diburu). Hutan adalah supermarket alam. Anda hanya perlu membiasakan diri mengenal makanannya tanpa ada label.
Manusia rimba yang akrab dengan hutan, bisa naik pohon ini dengan mudah
pic : @lidhamaul
Saya pikir, di sini WALHI dapat melakukan perannya bersama para aktivis pecinta hutan dan lingkungan untuk terjun ke masyarakat dengan melakukan pendekatan-pendekatan humanis terkait isu hutan sebagai pangan lokal. Mungkin,dengan mengenalkan apa saja kekayaan hayati yang ada di hutan yang dapat dikonsumsi dan cara mengolahnya dengan baik serta bagaimana memelihara kelestarian hutan itu sendiri agar keberadaan pangan lokal kita tetap terjaga. Anda sudah lihat daun harendong bulu (clidemia hirta) di atas? Beberapa tahun saya mencari tahu nama dan manfaatnya. Apakah termasuk gulma atau bukan? Tapi, tetangga-tetangga saya yang tinggal di sekitar hutan pun tidak tahu apa manfaatnya, apakah bisa dikonsumsi atau tidak? Harendong bulu adalah sebutan masyarakat Sunda, yang biasa mengonsumsi lalapan. Sampai kini pun saya tidak tahu orang Kalimantan menyebutnya apa. Mungkin terdengar sederhana, tapi bagi saya ini ironi.

Saya harap Balikpapan tetap kaya akan hutannya sampai kapan pun, mungkin kelak bisa dibuka pasar hutan, pasar yang khusus menjual pangan asli dari hutan, seperti di beberapa daerah lain di Kalimantan. Tujuannya agar orang-orang bisa akrab dengan hutan mereka yang itu dimulai dari hidangan di atas meja mereka. Harapan lain, masyarakatnya yang multi-etnis terus bertumbuh kesadarannya untuk menjaga kelestarian hutan di kota ini.


***
___________________

Sumber informasi tambahan :

http://www.getborneo.com/mandai-kuliner-dari-bahan-kulit-cempedak/ 
https://id.wikipedia.org/wiki/Kelor
https://en.wikipedia.org/wiki/Clidemia_hirta
https://id.wikipedia.org/wiki/Daun_pepaya
https://www.alodokter.com/manfaat-daun-singkong-dan-resep-olahannya
https://kaltim.bps.go.id/

35 Komentar

Terimakasih telah membaca, silakan berkomentar yang baik. Mohon tidak menaruh link hidup, situs yang mengandung SARA, judi online, web scam dan phising, karena akan dihapus.

  1. Olahan hutan emang enak banget dan bikin brsyukur ya Mba Lidh
    suka banget semuanya. Dari buah durian, sampai sayur daun singkong

    BalasHapus
    Balasan
    1. yummy.. paling tertarik dg oseng2nya. hmm ditambah lauk telur dadar daun kelor, enak banget. saya biasanya jg bikin lauk ini

      Hapus
  2. Duh duh penasaran dengan buah lai, pengen cicipin..sayang jika hutan hilang ya makanan enak jadi langka :(

    BalasHapus
  3. MasyAllah mba. Mba orang beruntung ya pernah punya momen menikmati hutan seperti berburuh buah-buahan dan lain-lain. Untuk saat ini, pengalaman di hutan itu jadi sesuatu yang langka untuk anak jaman sekarang yang kondisi rumahnya udah serba kota, banyak kendaraan, polusi, macet, dan lain-lain hahhh sedih juga. Aku jadi kangen mba rumah dekat hutan gitu. Soalnya rumah nenekku juga dekat hutan. Pengalaman di kampung itu berkesan dan mahal menurutku

    BalasHapus
  4. Jadi pengin balik kampung, jelajahin sawah, keluar masuk hutan. pulang bawa kayu dan buah, kalau haus petik yang bisa mebyegarkan. Ahh, kurindu masa kecil yang seperti itu

    BalasHapus
  5. Mbaa, kreatif banget. Teryata banyak ya olahan makanan yang berasal dari hutan yang bisa dikonsumsi. Mba juga rajin olahnya :) Aku suka cempedak goreng mba

    BalasHapus
  6. Mbaaaa , kalo aku ke Balikpapan, tulung carikan homestay deket rumah kamu yaaaa
    nanti aku mauuukkk jalan2 jelajah hutan bareng dirimuuu
    oke okeee?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha
      dekat rumah nggak ada homestay, yang deket hutan mudah2an ada ya

      Hapus
  7. Harus banget emang edukasi tentang makanan yang berasal dari hutan. Selain sehat kalau kita paham dan mengenal aneka sumber pangan dari hutan paling tidak kita mampu menjaga kelestariannya ya mbak.

    BalasHapus
  8. Aku lupa mba dulu banget pernah dikasih cempedak tapi ga kumakan hahaha pengennya nangka soalnya :p tenryata banyak banget yah pangan dari hutan

    BalasHapus
  9. aku belum pernah tinggal dekat hutan, pernahnya dekat pantai. Serem gak sih mbak kalau dekat hutan? khawatir ada hewan liar? meski enaknya ya udara segar dan pemandangan ijo ijo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak sih, biasa aja.
      Justru kalau hutannya hilang, hewan-hewannya mampir ke rumah. Nah itu baru serem... err

      Hapus
  10. waktu tinggal di banjarmasin n palangkaraya, aku suka nyobain pangan hasil dr hutan. favoritku keripik pakis :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah saya malah belum coba keripiknya. Pakisnya aja yang diolah masakan.

      Hapus
  11. Baru tau tuh soal Mandai yang bisa dijadiin lauk. Mirip nangka gitu ya punya pinggiran. Kalau di Jawa nama pinggiran nangka itu dami. tapi kayaknya ga pernah disimpen untuk dimasak jadi lauk.
    Luar biasa kaya ya hutan Indonesia. Semoga saja makin banyak yang mencintai bumi dengan menjaga kelestarian hutan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin. Bener mbak luar biasa. Masih banyak lagi makanan dari hutan yang belum kita tahu

      Hapus
  12. Kak Lidhaaa...mashaAllah, ini masak menu lengkap dari hutan tinggal metik dan meraciknya sesuai dengan rumus memasak yang diajarkan Ibu yaa...
    Sedaaapp~
    Aku kalo jadi si Mumut, pasti gemuk badannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwk... kagak gemuk dia, aku yang gemukan

      Hapus
  13. Aku penasaran sama buah Lai itu, soalnya aku suka durian tapi nggak suka sama baunya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. serupa tapi tak sama mbak. Lai nggak se-creamy durian.

      Hapus
  14. Hutan menyimpan keseksiannya yang sangat banyak bermanfat untuk banyak orang ya mak
    Semoga hutan hutan itu terus selalu lestari

    BalasHapus
  15. Mbak, aku malah iri loh sama ibu Mbak yang menikmati buah-buatan hutan dengan bebas. Betapa indah, sederhana dan sehatnya hidup zaman dulu ya.

    BalasHapus
  16. Ya ampun ada karamunting. Itu cemilanku waktu kecil. Dulu waktu masih tinggal di Kalimantan aku suka banget sama karamunting. Blueberry versi kearifan lokal

    BalasHapus
    Balasan
    1. aah, suka kalimatnya. Blueberry versi kearifan lokal. Iya lho, favorit juga

      Hapus
  17. huwaa jadi berasa jauhnya saya dengan masa kecil yang sesungguhnya tidak terlalu jauh dengan hutan. Eh bukan hutan tepatnya, tapi ladang. Meski bukan hutan, ladang pun menyediakan banyak bahan pangan liar yang bisa kami makan. Seharusnya bisa dieksplorasi lebih banyak.. oh ya, jadi penasaran dg bwrbagai buah dan makanan yg diswbut dalam tulisan ini. terutama yg belum saya kenal

    BalasHapus
  18. Aku penasaran banget mb, sama mandai. Tapi yang difermentasi yg direndam pakai garam itu. Katanya kalau dimasak enak sekali. Kalau yg krispi sih pernah nyicip, kayak keripik jamur tiram..hihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe dulu saya juga suka ngerendam mandai. Tapi sekarang males, kelamaan nunggunya wkwkw

      Hapus
  19. Banyak sekali tanaman yang ada di hutan yang bisa kita manfaatkan ya, Mbak
    Denga mengajak anak-anak pergi ke alam, diharapkan mereka lebih cinta dengan hutannya

    BalasHapus
  20. Cempedak kesukaan aku banget itu. Di hutan juga kaya akan pangan ya mba.

    BalasHapus
  21. Mbak kamu kyk suamiku, masa kecilnya kuga di ”hutan” Kalimantan hehe. Owalah mandai tu olahan dr kulit cempedak to, suamiku suka banget haha.
    Hutan memang selaik sbg paru2 bumi jg punya manfaat menjadi sumber pangan ya krn itu harus dijaga bener2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saking penasaran sama mandai bojomu sampek tak suruh bawain dari Kalimantan, wkwkwkwk. Terniat. Emang unik rasanya. Tapi butuh biasain lidah.Bagi yang udah biasa emang enak banget katanya

      Hapus
    2. wkwkwk masa tua saya juga di hutan kayaknya nih

      Hapus
  22. Oo.. Mandai tuh cempedak ya. Baru tau nama lain saudara jauh nangka. hahaha.. Saya kok baca Mandai ini kepikirannya Mandau ya. Dan baru tau kalau cempedak bisa ditumis. Coba aaah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mandai itu kulitnya cempedak. Iya, kulitnya ditumis, buahnya dimakan biasa.

      Hapus
  23. Kalau ga salah daun haredong, di sini namanya daun pecah beling. Permukaan daunnya berbulu ya mba? Oya untuk kukit buah yang direndam terus digoreng itu rasanya kayak apa ya?

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama