#Traveling Story : Melupakan Cara Bersyukur

Melupakan Syukur  www.bulirjeruk.com

BROMO - Sebelum Jepretan Dimulai
Dingin menjelang Subuh itu terasa lebih mengkhawatirkan daripada seekor anjing di dekat kaki. Udaranya saja menusuk, sudah pasti airnya pun lebih galak. Bagaimana kalau dingin membuat saya malas mengambil air wudhu?
Beberapa rombongan perempuan duduk berdempetan menghadap api unggun. Satu-satunya api unggun yang disediakan Ibu penjual kopi dan minuman panas. Beliau sedang sibuk. Saya baru saja dari sana, mendekap diri sendiri dan menghangatkan kaki. Saya beranggapan, tak mengapa tangan dingin, tapi berat bila kaki yang terlalu adem. Dingin kala itu  bersambutan dengan gelap. Pada jauh mata memandang, hanya ada titik-titik cahaya yang beriringan. Di depan sanalah Gunung Bromo, sedangkan di sini disebut penanjakan.

Ibu penjual kopi itu bilang, kalau mau sholat bisa di sisi lain tenda ini dan ada kamar mandi di ujung lain. Karena itu saya bergegas mengamatinya, lagipula tidak baik terlalu lama di dekat api unggun. Jangan-jangan ada yang lebih membutuhkan daripada saya, sementara tempat yang disediakan terbatas.

Tidak banyak orang sedang mengantri di kamar mandi. Lalu, disitulah saya melihat seekor anjing, berkeliaran di sekitar bakal tempat sholat saya. Sepertinya bukan cuma saya yang berpikir bagaimana caranya sholat agar tidak diganggu anjing, seorang perempuan muda di sisi saya juga demikian.
“Mbak mau sholat Subuh?” tanyanya.
“Iya,” jawab saya.
“Mbak bawa mukena?” 
“Nggak,” jawab saya. Lalu, dia memperhatikan penampilan saya. Iya iya, pakaian saya longgar dan saya bawa kaus kaki cadangan. Tapi, manalah saya bawa mukena. Pergi ke Bromo saja,  bukan sesuatu yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Semuanya mendadak.

“Perempuan muda itu memang terlihat ingin sholat, tapi seakan ada sesuatu yang menghalanginya.”

Hanya untuk memastikan firasat, saya pun bertanya balik. Ternyata benar, dia ingin sholat tapi tidak membawa alat sholat. Saya paham dorongan taat ini. Jadi, saya menawarkan sesuatu yang tidak biasa. “Kita gantian sholat pakai baju saya aja mau? Nanti saya lepas baju gamis sama jilbab ini.”
Buat saya sih peduli amat. Biar saja saya tambah kedinginan, toh pakaian saya berlapis, aurat saya tetap tertutup, yang penting si mbak bisa sholat.
Tapi saya percaya, siapa pun sudah tahu jawaban si perempuan muda.

Setelah berwudhu dengan air yang keterlaluan sejuk, saya sholat sendirian beralaskan selendang yang saya bawa, di satu-satunya tempat yang memang bisa dijadikan ‘ruangan’ sholat.  Anjing itu pun sudah tidak ada.
Rasanya lega, kecuali saat menatap si mbak yang gagal sholat. Terbentuk niat mencari cara agar dia bisa sholat Subuh. Tapi, pelan-pelan cahaya menenggelamkan pekat. Pak suami datang setelah lebih memilih berkeliling untuk menghalau dingin daripada di dekat api unggun, dan sholat bersama para laki-laki. Sayangnya, seingat saya dia pun sholat Subuh sendirian.

Seorang gadis muda lain yang tadinya menumpang lelah pada pundak kekasihnya, mulai bersiap dengan kameranya. Gerombolan lain pun mulai berdiri dan menggeliat.

Dari kejauhan, samar-samar pucuk gunung terlihat.

Pada akhirnya, Subuh pun berlalu. Momen bersyukur itu hilang, dengan sedikit orang yang mampu merayakannya.

Menit-menit berikutnya terasa bagai detik, setiap orang bersemangat menyambut cahaya matahari, yang dengannya perkampungan Suku Tengger tampak memukau dan Gunung Bromo terlihat benar-benar hebat menjulang. Gunung yang seyogyanya diamanahi menjalankan tugas oleh Tuhan, tapi menolak karena tidak sanggup, dan amanah itu pun jatuh pada manusia.

"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (QS. Al-Ahzab: 72).”

Di kanan-kiri saya, semua sibuk mengambil gambar, entah alam – entah diri mereka sendiri. Semua bahagia, saat di depan kamera. Ada pula yang sibuk mengobrol. Saya berdiri sendiri saja, membiarkan kamera bekerja dengan pikiran yang kurang nyaman. Lalu, setelah itu saya pun beraktivitas sama seperti mereka.


DIENG, Kemanakah Mereka ?
Saya nyaris susah tidur, karena jendela kamar kami dipukul angin terus menerus. Pukul 03.00 dini hari, saya sudah dibangunkan suami agar bersiap-siap. Kami akan berangkat ke Sikunir, menanti matahari terbit. Bila beruntung, akan ada beberapa puncak gunung dapat dilihat sekaligus. Sama seperti di Bromo, perjalananan ini benar-benar tanpa persiapan. Saya hanya mengenakan jaket suami yang kedodoran. Untuk kaus kaki dan sarung tangan, baru saya beli sore hari ketika tiba di Dieng, itu pun tanpa ada pemikiran akan diajak ke Sikunir. Sungguh, dingin di Dieng ini terasa lebih mencekam (bagi saya). Ditambah pula kami salah hari.

Setelah tiba di desa yang paling tertinggi di Pulau Jawa, saya dan tiga orang lainnya harus berjalan kaki hingga ke puncak. Dan wuihhh, sepanjang jalan berjubelan manusia, ramai nian. Saya baru ngeh, kalau itu hari Minggu. Saya berharap jangan penuh manusia, jangan. Kenikmatan bersama alam bisa terganggu nanti. Tapi, pergi ke Sikunir adalah hak siapa pun.

Sikunir Dieng
Memenuhi gunung

Karena dinginnya terlalu mengganggu, sepanjang perjalanan saya berharap menemukan toilet. Syukurlah, bertepatan menjelang Subuh, saya menemukan masjid tepat di sisi kiri. Toiletnya benar-benar ramai. Banyak sekali anak muda berhamburan dimana-mana.
“Banyak sekali manusia pagi ini. Pasti Subuh di Masjid ini bakal penuh sesak.”

Akhirnya Subuh pun tiba. Damai sekali rasanya bisa sholat di dalam masjid. 

Selesai sholat, saya baru sadar shaf perempuan tidak seberapa. Bukankah tadi di luar banyak sekali orang ?
Para jamaah perempuan kemudian saling bersalaman. Orang-orang ini menyalami saya dengan senyuman. Tapi, wajah-wajah mereka wajah tua. Wajah seorang Ibu. Wajah seorang Nenek. Saya serius mencari-cari wajah setipe yang saya lihat di perjalanan. Putar kanan, menatap ke kiri. Tidak, tidak. Ini bukan wajah-wajah turis. Mereka orang asli di sini. Kemana wajah-wajah muda yang saya perhatikan di perjalanan tadi? Mana gadis-gadis belia tadi?

Ketika peristiwa ini sudah berlalu beberapa tahun, sebuah meme menyasar di WA saya :

“Anak Muda.
Gunung kau daki, lautan kau seberangi.
Masjid (hanya) kau lewati.”

Sikunir, Penuh Sesak di Hari Minggu
Minggu yang penuh

Tidak, saya tidak akan melanjutkan kisah Sikunir sampai selesai.

Saya ingin bilang, betapa katroknya saya dengan gaya hidup masa kini.
Seorang pemuda mencari sebuah kamar penginapan saat #Traveling untuk ia dan kawan-kawannya. Tapi, pemilik penginapan tidak mengizinkan 1 kamar campur laki-laki dan perempuan. Anak muda itu protes, karena di zaman ini sudah biasa begitu dan berargumen mereka tidak melakukan apa-apa.

.........pfff

Kadang-kadang, saya pribadi khawatir dengan esensi perjalanan saya. Saya takut memang tidak ada nilainya sama sekali. Bukankah dalam perjalanan itu harusnya ada pelajaran yang bisa diambil?
Saya khawatir, bagaimana kalau saya tidak bersyukur? Bukankah alam ini berasal dari-Nya? Bukankah bisa berjalan-melangkah saja adalah sebuah kenikmatan dari Nya?

Beribadah adalah satu bentuk syukur. Masih ada lagi yang lain: tidak merusak alam, tidak berlaku sombong, taat pada aturan main-Nya.

Kebun Raya Bogor
Demi apa ?

Perjalanan saya masih belum seberapa, masih tipis. Tapi, saya ingin terus mengingatnya, mengambil hikmahnya, menyerap ilmu darinya.
Jika Allah mengizinkan, tentu saja saya ingin melakukan banyak perjalanan dan pulang mengantongi kebijaksanaan.
Saya ingin melanglang buana dan mencicipi kenikmatan beribadah di setiap masjid atau tanah negeri itu. Saya berharap tidak menjadi angkuh karena pernah berada di negeri jauh.
Saya ingin menyadari bahwa saya lah yang kecil, DIA lah yang MAHA BESAR.

Dari situ saya percaya, bahwa setiap perjalanan memanglah berguna.

ooOOOoo



Salam.
Lidha Maul

24 Komentar

Terimakasih telah membaca, silakan berkomentar yang baik. Mohon tidak menaruh link hidup, situs yang mengandung SARA, judi online, web scam dan phising, karena akan dihapus.

  1. Sangat disesalkan y mba kewajibannya terlupakan ;/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya ngerasa cukup sedih dengan fenomena begini. Dulu pas PA malah diajarkan sholat di berbagai kondisi

      Hapus
  2. Membaca ini mengingatkanku pada ekskul pecinta alam kala SMA, Mba. Yang sering menjadi perbincangan, bahwa sering kali diantara laki-laki dan perempuan 'pacaran kontrak'. Iya, hanya ketika mendaki. Saat turun, semua selesai. Demi apa? Entah :(
    Sama seperti pertanyaan Mba Lidha tentang kaktus, atau tentang masjid yang hanya dilewati.

    Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berfikir ya Mba, yang mampu melihat dan tentu saya mensyukuri setiap tanda dariNya :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru tahu ada pacaran kontrak.
      Amiin nyak. Smeoga

      Hapus
  3. Miris memang. Kadang saya juga berpikir demikian. Tempat wisata penuh sesak oleh pengunjung sementara masjid atau musholla sepi ketika adzan berkumandang. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mengingatNya. Bukan saja mengingat akan kebesaranNya, namun juga melakukan kewajiban.

    BalasHapus
  4. Kalau saya entah apa yang ada di pikiran saya. Melihat keindahan alam ciptaan yang kuasa saya sllu menangis dan haru..

    Tapi ? Gunung kau daki masjid kau sebrangi,kena bgt buat saya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena kita merasa kerdil mas pas di alam itu :)

      Hapus
  5. justru saat berpetualang di alam saat kita sujud terasa betapa kecilnya kita di hadapanNya ya

    BalasHapus
  6. seharusnya traveling membuat kita menjadi manusia yang kecil dan sadar akan kuasaNya, sangat disayangkan kalau lalai dengan kewajiban :(

    BalasHapus
  7. Iya, benar traveling ke mana aja bisa, tapi jangan melupakan sholat ya mbak.

    BalasHapus
  8. Reminder sangat buatku. pengen berubah lebih baik, ga ninggalin sholat apapun kondisinya :(. Traveling sejatinya membuat kita jauuuuh lbh bersyukur lg ya mba. . Semoga aja, dengan traveling aku bisa lbh menundukkan diri dan sadar kalo diri ini ga ada apa2nya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin, reminder juga buat saya mbak. Biar tetap dikasih kesehatan dan lancar-lancar selalu

      Hapus
  9. kalau traveling aku malahan suka lebih ingat untuk mengerjakan kewajiban karena biar dilindungi & jauh dari marabahaya, apalagi kl liat keindahan ciptaan Allah yg masyaallah bagusnya, rasanya malu kalau ngga bersyukur diberikan semua kesempurnaan & kesempatan untuk menikmati semua yg Allah berikan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau jalan-jalan malah jadi pengen hunting masjid hihihi

      Hapus
  10. Itu kaktusnya.... Kok...kok...malah banyak oret oretan :(

    BalasHapus
  11. Baca ceritamu itu seru. Story Tellingnya keren. Bakal ngobok2 blogmu ini nih kayaknya saya, Mbak. Ngomong-ngomong, kalau sedang perjalanan, terutama menikmati keindahan alam yang luar biasa, aku juga suka merasa "kecil" dan tidak ada apa-apanya di dunia ini. Doa suka otomatis terlantun. Tuhan itu Maha Besar ya, Mbak, sudah seharusnya manusia selalu ingat padaNya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, dibilang keren sama penulis buku yang keren.
      Ya begitulah mba Mon, rasanya sedih kalau sampai lupa padaNya

      Hapus
  12. Wuihhh kata-katanya 'jleb' banget mbak... Perjalanan relijius ya.... Sukses terus mbak, #DuniaFaisol

    BalasHapus
  13. Memang, pada saat melihat keindahan alam, di saat itulah kita menyadari, betapa agung karya-Nya =)

    BalasHapus
  14. Saya jadi ingat traveling dg 2 teman yang nggak pernah meninggalkan sholat-nya. Karena mereka, saya jadi terpikir untuk sholat dan selalu bawa mukena tiap jalan2, minimal... salah satu dari kami bawa mukena. Terima kasih juga udah mengingatkan saya, mba, yang kadang di rumah ada sholatnya masih sering lupa.

    BalasHapus
  15. Aku pas ke Dien sepiiii banget karena memang waktu itu statusnya waspada, hehehe. Sudah terlanjur datang dengn temna dari beberapa kota. Jadi waktu ke si kunir cuman beberapa glintir orang dan syyukurnya dapat sunrise.

    semuanya memang harus disyukuri

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama