Tribute to My Uncle

Gadis kecil itu mengendap-ngendap tak tertahan. Para penatu rumah sakit telah melihatnya tadi. Ibu telah melarangnya ke tempat ini. Tapi apa daya, rasa penasaran menarik-narik kakinya hingga ia mencari celah di setiap sudut rumah sakit untuk bisa melarikan diri ke tempat ini. Sekali lagi jantungnya berdebar-debar. Di hadapannya sebuah bangunan mungil dilengkapi jeruji. Dari seberang jalan, gadis kecil itu menatap. Satu persatu. Ada seorang perempuan yang ia kenal, yang dulu ramah dan baik. Seorang pria tak dikenal. Lalu kosong. Kosong. Mana dia? Gadis kecil itu mengumpat. Ah, itu dia. Akhirnya wajah itu muncul. Seorang pemuda menatapnya balik. Kata mereka, pemuda itu ingin menyerang seseorang dengan mandau tua. Sangat berbahaya. Jangan sekali pun mendekatinya. Pemuda yang ia lihat, hanya diam dibalik jeruji. Tak ada teriakan tak ada senyuman. Gadis kecil itu mengangguk lega, dalam hatinya bila dewasa kelak ia ingin menceritakan pada dunia, bahwa pemuda itu lelaki yang baik.



Waw,
sudah lama saya ingin menuliskan kisah ini, sayang begitu banyak hal terjadi sampai ada GA nya mbak Liza Fathia yang membuat saya tergerak lagi ingin bercerita disini. Kisah ini tentang seorang pemuda yang menjadi spirit buat saya dalam menjalani kehidupan. Sedangkan gadis kecil dalam sepenggal kisah di atas adalah saya. Kisah di atas memang  NYATA, kecuali adegan ‘Lalu kosong. Kosong’nya. Karena memori saya yang samar.

Ya, kisah di atas adalah potret kehidupan saya semasa kecil. Dulu sekali, saya tinggal dekat dengan RSU (Balikpapan). Kakek saya mantri, ayah saya bagian administrasi disana. Bangunan RSU adalah bangunan tua bekas (entah apa) milik Jepang (atau Belanda ya?). Saya masih ingat lorong-lorongnya, celahnya, belokan, parit besar di dalamnya, aromanya, pohon cemaranya, sampai penjual soto favorit. Tidak ada istilah jam besuk buat saya. RSU ini memiliki bangunan lain di belakangnya untuk tahanan sementara OODGJ (orang-orang dengan gangguan jiwa) dan beberapa meter di sebelahnya terdapat kamar mayat. Disebut sementara karena ruangannya hanya terdiri 5/6 sel, selanjutnya yang tidak mampu beradaptasi akan dibina dan dibawa ke RSJ di Samarinda, yang memang satu-satunya di Kaltim.

Pemuda yang saya maksud bernama Muhamad Amrullah. Nama yang indah. Sayang, orang-orang tidak memanggilnya begitu. Sedari kecil, dia sudah berbeda. Ada yang bilang karena demam tinggi dan kejang-kejang terus menerus sampai menggulirkan kedua bola matanya hingga tampak bertemu. Lalu, dia menjadi berbeda. Entah pasti atau tidak. Yang pasti dia tidak bisa bermain bebas seperti anak-anak kebanyakan, lebih sering dikurung dan sempat ingin dipasung. Sampai dia beranjak dewasa, dia lebih sering berkawan dengan dunia internalnya: bersenda gurau, tertawa, bercakap-cakap, memaki bersama, dan banyak lagi dengan kawannya yang tidak kasatmata itu.

Orang-orang memanggilnya gila, kadang dia hanya tertawa, kadang dia bisa menyembur marah, sambil mengacungkan mandau*. Dan bertambahlah olokan orang-orang padanya. Ada hal istimewa yang saya suka, dia bisa mengingat perjalanan dengan baik. Pergi ke suatu kota lain dan kembali lagi (kadang tidak membawa uang), atau mengantar pesanan ke rumah saya sendirian. Dia juga bisa mengingat wajah kami dengan baik.

Saya masih ingat dinding-dinding rumah, tempat dia mengeluarkan isi kepalanya. Begitu penuh tulisan unik dan begitu bersemangat saya membacanya. Walau tidak pernah bisa.

Suatu hari, sepulang sekolah saya dan kawan berpapasan dengannya. Saya masih ingat dialog kami, kira-kira begini. “Eh, awas ada orang gila! Tu orang ngomong sendirian.” Lalu saya melambaikan tangan pada pemuda itu. Kawan saya menarik tangan saya, “eh, kamu beraninya.” Saya hanya menjawab, “oh, itu pamanku.” Kawan saya pun berkata, “Heh, kamu gila ya mau-maunya ngakuin orang gila pamanmu.”

Tapi pemuda itu memang paman saya. Adik bapak saya.

Sewaktu masih muda, beliau sangat agresif, liar. Sering beradu dengan Kakek. Pernah ditahan di sel khusus penanganan ODGJ RSU, dan saya yang masih kecil senang menyelinap demi melihatnya. Sewaktu saya kuliah, paman dibina lagi di RSJ Samarinda. Mungkin ditambah faktor usia, beliau terlihat lebih rileks dan kalem. Kala itu Kakek sudah tiada.

Tahun berganti. Saya menikah dan beberapa kali mengontrak, termasuk mendiami rumah di samping rumah Nenek. Jadilah kami bertetangga.
Saat itu, Nenek lebih sering sakit-sakitan, semua anaknya telah menikah (kecuali paman tentunya) dan mendiami rumah masing-masing.

Apa ya yang dibayangkan orang-orang bila disebut di dalam rumah itu hanya ada Nenek tua yang sakit-sakitan dan seorang dengan gangguan jiwa?
 Biasanya banyak yang berpikir: bagaimana mungkin nenek tua sakit-sakitan mengurus ODGJ?

Kebutuhan nenek yang tidak memungkinkan dilakukan sendiri setiap hari adalah memasak, karena itu Nenek berlangganan dengan tetangga. Untuk ke kamar mandi, beliau masih bisa walau tertatih dan berpegangan dinding. Untuk mencuci menggunakan mesin cuci. Saya sendiri tidak banyak membantu Nenek, karena saya masih bekerja saat itu. Praktis, orang yang paling banyak membantu Nenek adalah paman.

Pamanlah yang menjemur pakaian setelah dicuci. Paman juga yang harus mengambil makanan yang tidak diantar. Soal menjemput ini dia tepat waktu sekali. Termasuk pergi beli apa pun jika Nenek memerlukan dan mengantar sesuatu ke tetangga. Paman juga yang mencuci piringnya. Menjelang tidur malam, paman biasanya mendahulukan Nenek tidur. Dia yang akan mematikan lampu, mengecek pintu. Lalu sholat. Harap maklumi paman. Sholatnya memang tidak akan pernah sama dengan orang normal. Tidak jelas bacaannya dan diselingi cekikikan. Anak-anak yang mendengarnya pasti akan tertawa, orang dewasa yang baik akan terenyuh.

Di sore hari, bila sudah rapi mandi dan wangi biasanya paman duduk di beranda. Dulu sekali, duduk-duduk santai ini tidak mungkin. Bila ada anak-anak lewat yang mengejeknya, dia akan marah. Namun, di hari tuanya dia hanya akan tertawa saja. Suatu hari, dia baru mencukur rambut. Kami menggodanya, “wah, rambut baru, tambah gagah aja.” Lalu dia akan tersipu-sipu malu. Lucu sekali.

Paman masih bisa diajak ngobrol, tanyakan saja padanya sedang apa Nenek, apa yang terjadi kemarin, siapa tamu yang datang, siapa nama suami saya. Walau jawabannya selalu berbonus celoteh aneh, seringai, olokan, tawa, suara samar. Salah satu adegan yang menyentuh saya, ketika itu ada bayi dibawa ke dekatnya dan dia berusaha mencandai bayi itu. Layaknya orang normal. Dan adegan selanjutnya saya meminta dia menggendong bayi, sayang paman langsung mengernyit, menjauhkan diri. Paman tidak bisa menyentuh, memeluk anak kecil, tubuhnya menolak dengan sendirinya. Mungkin hanya perasaan saya saja, bahwa ada ketakutan terlihat di matanya.

Beri saja paman hadiah kecil atau makanan, pasti dia akan membawanya ke dalam rumah. Harus makan di dalam gitu? Tidak! Setiap makanan yang dia terima akan diberikan pada Nenek lebih dulu. Ibunya. Nenek harus mencicipinya, sampai puas. Baru dia akan makan. Soal ini, ibu saya sering menyindir kami, “anak-anakku kalau ada makanan ya langsung dihabisin aja, ibunya belakangan. Lupa dah.” Hehe. Malu ya.

Pernah saya lupa pamit pada Nenek, dia lalu meneriaki, ”he, sana salim.” Hehe, maaf ya paman.

Lalu, hal lain terjadi. Orang-orang mengira Nenek akan pergi lebih dulu (bahkan Nenek pun selalu mengira begitu). Paman mulai sakit-sakitan, saat badannya demam tinggi, kami membawanya ke RS. Masa itu tidak terlalu lama. Saya menjenguknya untuk kedua kali. Tapi dia hanya tertidur. Kakinya sudah dingin dan napasnya mulai teratur panjang. Sedikit sekali terhentak. Saya berdiri disana, di sampingnya. Menikmati diamnya yang mengagumkan. Sama sekali tak ada sakit. Bahkan sebelumnya pun dia tak mengeluh. Kanker tiroidnya baru terdeteksi saat stadium akhir.

Menjelang maghrib hari itu adalah hari yang berat bagi kami yang menunggu detik-detik perpisahan bersamanya. Saya bertanya-tanya dalam hati bagaimana rasa kematian itu bagi paman? Bagaimana kelak pertemuannya dengan Tuhannya? Tentang hari-hari kehidupannya yang berbeda dengan kami. Sungguh Allah maha baik, DIA tidak akan menghukum paman yang bahkan kata neraka saja tidak bisa paman eja.

Kematian paman adalah kematian pertama yang saya saksikan. Betapa pulas ia tertidur setelah panggilan itu berakhir. Seulas senyum samar menghias wajahnya. Rasanya dia begitu berkilau. Kilau yang lebih baik daripada sore hari setelah dia mandi.

Sungguh Allah Maha Baik, paman tidak bisa sholat sempurna namun begitu banyak yang menyolatkannya, begitu mudah penguburannya. Kami berdua memang tidak dekat, kecuali duduk-duduk bersama di beranda dan menertawakan kucing.

Sekarang saya sudah menyelesaikan niat untuk mengisahkan orang baik ini. Semoga Allah mencintainya dan mencintai orang yang mencintainya. Amiin.

Dan tahun pun berganti:
  • Tahun 90-an RSU sudah dipindahkan, 2014 bangunan itu lenyap dan akan berganti mall megah.
  • Nenek pun berpulang pada 2015 lalu.
  • Mandau (senjata tradisional) sudah lama diwariskan Kakek ke Bapak.

@lidhamaul

“Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis

[GA] Tema ODGJ

30 Komentar

Terimakasih telah membaca, silakan berkomentar yang baik. Mohon tidak menaruh link hidup, situs yang mengandung SARA, judi online, web scam dan phising, karena akan dihapus.

  1. kisah yang indah mbak. semoga paman mendapat tempat terbaik di 'sana'

    BalasHapus
  2. amiin. Makasih berkunjung mbak :)

    BalasHapus
  3. mba hana terharu baca ceritanya :') menyentuh sekali :) semoga paman Mba diterima disisi Allah dan diberikan tempat terbaik di sisinya :) terima kasih sudah berbagi :) semoga sukses giveawaynya :)

    BalasHapus
  4. kisanya bikin haru banget mbaaak semoga menang giveawaynya

    BalasHapus
  5. Subhaanallah terharu bacanya Mak. semoga Paman mendapat tempat termulia di sisi Allah, aamiin

    BalasHapus
  6. Sedih banget Mbak..paman sudah tenang ya di alam sana

    BalasHapus
  7. Nyesek bacanya mbak..terharu. Semoga paman diberikan tempat yang terbaik di sana ya..

    BalasHapus
  8. ya Alloh. subhanalloh. kisah yang sangat menyentuh. kesabaran nenek dan keluarga sungguh luar biasa. dan Alloh memudahkan jalan paman ya. semoga pamannya mendapat tempat yang baik di sisi Alloh.

    BalasHapus
  9. udah bookmark page ini, akhirnya baru beres baca. Hiks, terharu. Ini pelajaran banget, memang sebaiknya kita tidak membeda-bedakan bagi mereka yang 'beda' ya. Thank for sharing Mbak, dan semoga menang GA nya :)

    BalasHapus
  10. merinding bacanya, jadi ingat di mesjid komplek ada remaja (entah berkebutuhan khusus atau gangguan jiwa, yg jelas berbeda dg orang kebanyakan) yg sering solat dengan hanya celana sangat pendek..anak saya sering bertanya kenapa dia solat dengan celana pendek. Ya saya bilang aja dia mungkinsakit dan belum tau. Alhamdulilah mungkin ada yg kasitau, mungkin keluarganya yg menyuruh, gatau...remaja tsb akhirnya kalo ke mesjid pakai sarung...

    BalasHapus
  11. Alhamdulillah, orang seperti itu yang justru rajin sholat bisa bikin malu saya

    BalasHapus
  12. Terimakasih mbak, iya seharusnya begitu. Saya juga masih perlu intropeksi

    BalasHapus
  13. Amiin mbak Nurul, makasih doanya

    BalasHapus
  14. Ya Teh, nulisnya juga sedih. Amiin, makasih ya doanya

    BalasHapus
  15. Ya Hana, makasih ya udah mampir :)

    BalasHapus
  16. saya juga ada tetangga yg seperti itu mbak, tapi sayang banget sama cucu dan anak2nya, kalo ada makanan anak dan cucu gak pernah ketinggalan, pernah dikasih uang sama orang aja dikasih ke cucunya, katanya buat beli rambutan

    BalasHapus
  17. liannyhendrawati16 Februari, 2016 11:01

    Duh jadi terharu. Semoga paman mendapat tempat terbaik di sisiNya.
    Sukses ya GA nya, thanks for sharing.

    BalasHapus
  18. tanpa sadar airmata saya menetes membaca cerita ini :'(
    semoga pamannya diberi tempat yang layak di sisiNya, amin..

    BalasHapus
  19. Terharu banget Mbak baca tulisan ini... :(
    Paman saya juga ada gangguan jiwa seperti itu, tapi saya sesekali saja ke rumahnya, soalnya jauh. Sekarang beliau juga sudah meninggal.
    Sukses ya Mbak GA-nya. Ceritanya apik, semoga menang :)

    BalasHapus
  20. Subhanallah, terima kasih atas ceritanya, terima kasih juga sudah ikutan di giveaway kami.. semoga stigma terhadap mereka jadi berkurang dengan banyaknya blogger yang menulis positif terhadap mereka.. amin.

    BalasHapus
  21. Terharu bacanya, sukses GA nya, makasih sudah berbagi :)

    BalasHapus
  22. Waa, pamannya so sweet sekali ya Mba', semoga Beliau ditempatkan di sisi terbaik bersamaNya, ceritanya apik Mba'.. 😊

    BalasHapus
  23. Saya juga punya cerita seperti ini mba Lidha..
    Mama saya yang dengan sabar ikut menjaga tetangga kami yang juga memiliki gangguan jiwa.

    BalasHapus
  24. iya mbak, yang pernah mbak ceritain di blog ya

    BalasHapus
  25. […] Juara 3 jatuh kepada: Lidha Maul dengan judul tulisan Tribute to My Uncle […]

    BalasHapus
  26. inspiring banget ceritanya, kak..

    BalasHapus
  27. Walaupun punya dunianya sendiri, tapi paman masih begitu sayangnya ya mbak dengan ibunya.. Terharu bacanya..

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama