Merawat Balik Asa Masyarakat Adat Balik (Bagian 3)



Menyisir Sedikit Cerita Pesisir

Komunitas Suku Balik menjadi masyarakat adat paling terkena dampak karena lokasinya yang berada zona satu hingga tiga IKN. Komunitas ini menyebar di Desa Bukit Raya, Binuang, Bumi Harapan, Kel. Mentawir, juga Pemaluan. Dua kelurahan, yakni Sepaku dan Pemaluan berada sangat dekat dengan Titik Nol IKN. Selain komunitas adat Balik, terdapat juga masyarakat adat Suku Paser. Sayangnya, seorang tokoh yang ingin dijumpa sedang tidak ada di tempat. Tokoh adat Suku Paser yang sempat dijumpai  justru berada jauh dari kawasan inti. Beliau adalah M. Setta Achmad, yang tinggal di Kel. Pantai Lango yang pernah dilantik sebagai Kepala Adat pada 2002, dan berakhir pada 2021. Pantai Lango berada jauh dari Titik Nol IKN dan bukan termasuk wilayah IKN, melainkan menjadi desa/kel. penyangga IKN. Kawasan pesisir dengan aktivitas masyarakatnya sebagai nelayan ini termasuk dalam Kec. Penajam. Pantai Lango berada cukup dekat dengan pembangunan proyek jembatan Pulang Balang.

Menurut Pak Setta, pada tahun 2019 ketika pemindahan ibu kota baru digemakan, sebagai kepala adat saat itu, dirinya menyebut tidak ada undangan sosialisasi. Namun, baginya ini wajar karena kawasan yang ia diami merupakan kawasan penyangga yang jauh dari kawasan inti. Lelaki tua yang banyak terlibat upaya pelestarian adat ini pernah hadir dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara V di Sumatera Utara. Hal yang pernah ia suarakan adalah pelestarian nama Pulau Balang yang semestinya Pulau Belang atau berdasarkan asal-usulnya menjadi bolang saja. Sebagai orang yang pernah menjadi guru, nelayan dan petani, Pulau Balang saat itu banyak memberikan kontribusi bagi kehidupannya juga masyarakat sekitar. Dahulu, di pulau tersebut banyak terdapat tanaman yang mereka sebut bolang yang kini sudah menghilang. Pada awalnya, pulau yang terletak antara Kec. Sepaku dan Balikpapan diberi nama Pulau Belang, sedikit bergeser dari nama tanamannya. Senada dengan cerita Pak Setta, penanda pada google maps juga memunculkan nama Pulau Belang. Menurut Pak Setta Achmad, penyebutan nama Pulau Belang ini cukup lama, hingga berubah menjadi Pulau Balang, oleh pihak luar. Dirinya khawatir, perubahan nama ini dapat mengeroposkan sejarah asli pulau tersebut.

Pantai Lango
Pantai Lango

Lelaki Paser yang dipindahtugaskan ke Pantai Lango pada tahun 70-an ini bercerita bahwa dulu banyak sekali aneka satwa di dalam pulau tersebut, juga di perairannya masih mudah melihat ikan pesut. Seiring waktu hewan-hewan ini susah dilihat, dan banyak yang sudah tidak ada.

“Sudah lama ndak ada hewannya (yang dahulu biasa terlihat), bukan karena ada pembangunan ini aja. Cuman kalau ada pembangunan, pasti ada lagi perubahannya,” ujar Pak Setta yang sudah tidak lagi menjadi nelayan. 

Dari tepi laut Pantai Lango dapat terlihat dengan mudah Balikpapan. Jalur perairan inilah yang sejak dahulu digunakan untuk migrasi, perdagangan atau sekadar kunjungan dari Balikpapan ke seberangnya. Perairan yang membawa orang-orang Balik masuk ke sungai-sungai Sepaku, menempati ruang kehidupan hingga generasi mereka bertumbuh. Sekarang proyek Jembatan Pulau Balang dibangun untuk lebih memudahkan semua akses itu.
*

Berbatasan dengan Pantai Lango, Kel. Maridan menjadi ujung wilayah yang masuk dalam IKN. Daerah yang termasuk dalam Kec. Sepaku inilah yang menaungi Pulau Balang. Dari dermaga Maridan, nun jauh terlihat Jembatan Pulau Balang nan gagah dan elok. Berseberangan dengan dermaga, terlihat daratan-daratan berisi hutan yang damai dengan suara alam. Hanya sedikit kapal bertengger di dermaga. Kertas bertuliskan tarif transportasi laut tertempel di dinding kayu. Seorang lelaki menawarkan tarif berkeliling Pulau Balang seharga 1,5 juta dengan kapalnya. Tarif yang sepertinya masih bisa dinegosiasikan.

pulau balang
jembatan Pulau Balang dilihat dari Maridan


MASYARAKAT ADAT DALAM PROGRAM BERKELANJUTAN

Bumi Sepaku nampak lestari dengan pemandangan hijau terbentang di belakang rumah-rumah penduduk yang berada di tepi jalan. Tidak ada mall, atau gedung-gedung tinggi. Pembangunan ruko, dan penginapan, akhir-akhir ini memang menjamur untuk memfasilitasi pendatang. Kawasan padat paling terasa adalah ketika memasuki pasar Sepaku, dengan satu-satunya jalan yang harus dilalui ketika ke puncak Titik Nol IKN. Kendaraan alat-alat berat hilir mudik melintas. Selebihnya memang masih mudah terlihat area hijau membentang.

pasar sepaku
pasar Sepaku


Mbak Yul, perempuan yang tinggal di kawasan Jl. Semoi-Sepaku, sejak kecil dibawa orangtuanya menjadi masyarakat trans di Sepaku. Mereka hidup sebagai petani. Kebun di belakang rumahnya berisikan aneka tanaman, sirsak, pisang, cempedak, nangka, rambutan, kelapa, dan masih banyak lagi. Tetangga-tetangga Mbak Yul juga sama. Bude, sapaan perempuan tua tetangga sebelah rumah, baru saja panen pisang dan berniat membagikannya. Mereka adalah masyarakat trans yang hidup dari bertani. Tempat tinggal mereka jauh dari kawasan inti, sehingga benturan cemas bersifat timbul sesaat. Mbak Yul dengan geli mengingat suasana beberapa tahun lalu. Ketika dapur dan kamar mandi kayunya belum tertutup sempurna. Masa-masa itu monyet dari hutan belakang rumah masih sering mampir ke dapur dan mengintip kamar mandi.

“Nggak ganggu, paling cuma cari makan,” kata Mbak Yul, ketika ditanya apakah primata itu sering mengganggu. Bagi Mbak Yul, cuma cari makan dan mengintip kamar mandi didefinisikan sebagai bukan gangguan. Monyet-monyet itu masih ada sekarang, masih mengambil buah-buahan di belakang rumah mereka. Bude menambahkan bahwa dahulu selain kera, payau (rusa) masih sering melintasi jalan.

Cerita yang sama juga dituturkan oleh orang-orang Balik di Sepaku. Betapa mudahnya dahulu mencari madu, mengambil ikan di sungai, tidak perlu memberi durian yang mahal, semua bisa petik di alam. Hutan adalah super market bagi mereka. Orang-orang ini adalah contoh penerapan masyarakat yang hidup bersama lingkungan, berkelanjutan, harmoni dengan alam, tanpa tahu istilah suistainability, atau green living.


Berladang dan Sumber Penghidupan

Secara umum, orang-orang Balik di Sepaku, khususnya bukan daerah pesisir, adalah petani dan peladang. Mereka memanfaatkan hutan untuk berkebun tanpa melakukan eksploitasi berlebihan. Kebun dan ladang-ladang yang ada ditanami pisang, umbi, atau tanaman buah tahunan. Selain itu pernah pula masyarakat ini menanam merica, dan kopi. Tanaman sayuran berjenis pendek seperti sawi-sawian, bayam, bukan menjadi program tanam bersama, tetapi tetap bisa ada. Tanaman padi menjadi kebanggaan bagi masyarakat Balik, khususnya padi gunung.

pada lahan kering
padi gunung


Padi gunung atau padi lahan kering menjadi kearifan lokal bagi masyarakat adat Balik. Telah menjadi tradisi setiap kali membuka lahan, mereka akan kumpul bersama untuk bergotong-royang. Dahulu, akan dilakukan upacara adat setiap kali membuka lahan. Upacara yang sekarang sudah ditinggalkan. Tradisi berkumpulnya Suku Balik ini dilakukan dari merintis lahan hingga panen, termasuk anak-anak juga diajak serta. Dalam adat berladang Suku Balik, perempuan memegang peranan penting. Menanam padi haruslah perempuan, sementara kaum pria menebar bibit. Sedangkan untuk panen nanti bisa dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Cara menanam padi gunung tidak disebar, melainkan dengan menugal. 

Namun, padi gunung sudah ditinggalkan sejak ada pelarangan pembakaran lahan. Jika ingin melakukan pembakaran, harus melapor lebih dulu pada kepolisian setempat. Untuk membuka lahan memang diperlukan pembakaran, karena luasnya areal tanam dan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Namun hal ini selalu dalam kontrol dan pengawasan masyarakat yang membuka lahan. Keuntungan padi gunung adalah tidak perlunya memotong area perbukitan. Sesuai kontur Sepaku yang banyak perbukitan, jenis padi ini lebih ramah terhadap bencana banjir. Beras dari padi gunung yang terkenal adalah mayas. Kekurangan padi gunung, lebih lama panen dibanding padi sawah.

sawah Sepaku
sawah di Sepaku Lama

Setelah panen, beras pun disimpan dalam lumbung padi yang terbuat dari kulit kayu, biasanya sungkai atau kayu yang besar. Teknik tradisional ini pun lenyap, dan dengan berkembangnya waktu banyak petani yang beralih ke perkebunan sawit.

Untuk mendapatkan ikan, mereka memanfaatkan sungai-sungai di Sepaku. Sungai juga menjadi jalur kehidupan bagi masyarakat Suku Balik. Sungai ini menjadi penghantar mereka untuk melakukan tukar barang di kawasan-kawasan seberang, terutama Balikpapan. Mereka masih melakukan sistem barter sampai periode 2000an dan selama jalur sungai masih mudah dilalui. Hasil panen ditukar dengan barang-barang yang menjadi kebutuhan. Meski demikian ada juga yang menjual hasil panennya. Pak Medan, Pemangku Adat Suku Balik bercerita bahwa dirinya tidak pernah menjual beras hasil jerih payahnya.

Selama sekian tahun, masyarakat ini telah menerapkan kehidupan berdampingan dengan alam. Dengan hanya memanfaatkan, mengambil sesuai kebutuhan. Masyarakat ini adalah cerminan SDM yang baik dalam hal memelihara alam. Semestinya bisa menjadi guru untuk membangun kemandirian pangan, kelestarian, dan menjadi terlibat dalam pembangunan berkelanjutan yang direncanakan, tanpa perlu harus tersisihkan.

*

Dalam seminar Nasional “Literasi untuk Kesejahteraan : Kondisi dan Harapan” yang diadakan di Balikpapan (15/12/2022), DR. Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi, Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN berulang kali menyebutkan konsep Forest City yang diusung IKN memberi gambaran akan kota modern, hijau, cerdas, dan berkelanjutan. Harus diakui bahwa terdapat kerusakan pada hutan di kawasan IKN, dan berkurangnya biodiversitas yang butuh upaya perbaikan. Sedangkan dalam beberapa aspek, konsep berkelanjutan sudah dijalankan masyarakat adat dan trans yang ada di Sepaku.

menjemur ikan
menjemur ikan

Salah satu poin dalam analisis konsep Forest City pembangunan ibu kota negara yang dikeluarkan Bappenas, adalah perlu adanya ‘Pelibatan Masyarakat (Community Engagement)’, dikarenakan hutan dan lingkungan telah memberikan manfaat cukup besar dan dalam jangka waktu yang lama pada masyarakat. Bagi pemerintah, penting untuk mengadopsi lebih dahulu kearifan lokal setempat dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Kata arif dan lokal, sebenarnya menjadi ciri masyarakat yang ada di sini. Sehingga, yang dilirik hanya apa yang menjadi kekurangan masyarakat untuk tetap diberikan pendidikan lingkungan, agar sepenuhnya terjaga kesadaran akan lingkungannya, sehingga mampu menjadi citizen forester. Kolaborasi ini menjadi wujud otorita dalam mengayomi masyarakat, dan wujud partisipasi masyarakat dalam berperan aktif.

Takutnya sih, nanti jadi babu di tanah sendiri. Demikian curahan kekhawatiran warga di kala mereka semestinya bisa menjadi guru bagi para tamu.

*

Sebelumnya :

Posting Komentar

Terimakasih telah membaca, silakan berkomentar yang baik. Mohon tidak menaruh link hidup, situs yang mengandung SARA, judi online, web scam dan phising, karena akan dihapus.

Lebih baru Lebih lama