Makanan Ramah Iklim, Kebaikan Bagi Bumi

Kita tahu menjaga keberlangsungan bumi adalah tugas bersama. Amanah ini kemudian kita jalankan dengan cara beragam. Benar, memang masih ada manusia yang kurang atau bahkan tidak peduli. Ketidakpedulian yang mungkin saja berawal dari ketidakpahaman, keengganan untuk menggali lebih apa dan bagaimana agar bumi tercinta ini tetap indah, hijau, sehat, hidup, dan tentu saja terus berlanjut. Ketidakpahaman yang bisa saja erat kaitannya dengan berpikir terlalu jauh, merasa terlalu berat dan ketidaksanggupan diri. Menjaga kelestarian bumi seyogianya bisa dimulai dari dalam rumah, bisa dimulai dari apa yang kita konsumsi, dengan memilih, memilah, dan mengolah makanan ramah iklim.

Inilah yang saya dapatkan di Webinar dan Talkshow "Makanan Ramah Iklim dan Peluncuran E-Book : Memilih Makanan Ramah Iklim + 39 Resep Gorontalo.” Talkshow yang berlangsung pada Minggu, 14 Februari 2021 via Zoom yang menghadirkan narasumber : Amanda Katili (Climate Reality Indonesia), Wiliam Wongso (pakar kuliner Indonesia), Zahra Khan (praktisi UMKM, penggagas pangan ramah iklim khas Gorontalo), Nicky Ria Azizman (Ketua Sobat Budaya), Ihsan Averroes Wumu (pemilik Olamita Resto) serta dipandu oleh Noni Zahra.

Minggu saya pun berubah cerah saat mengikuti talkshow yang digagas Omar Niode Foundation ini. Bagaimana tidak? Selain mengulas bagaimana makanan ramah iklim bisa membantu keberlangsungan alam, saya juga disuguhi aneka kuliner dari Gorontalo, cerita kuliner tradisional yang mengemuka di dunia internasional langsung dari pakarnya, serta gagasan-gagasan pangan yang ideal.

SELAMATKAN BUMI
DENGAN MAKANAN RAMAH IKLIM


Bagaimana pertanian dan kuliner bisa mengubah krisis pangan ?
Bersama Ibu Amanda Katili dari Climate Reality Indonesia, bicara pangan sungguh sangat menyenangkan. 

Makanan adalah simbol kehidupan, simbol kenyamanan, identitas, energi dan keluarga. Fungsi makanan sangat erat kaitannya dengan kehidupan. Tidak ada yang tidak membutuhkan makanan. Sehingga pangan dapat disebut sebagai solusi dari krisis kelaparan. 

Namun, tidak dapat dipungkiri, pangan juga merupakan penyebab krisis iklim yang ada sekarang. Mulai dari hulu ke hilir, dari produksi hingga limbah yang mencemari menjadi penyebab kerusakan alam. Musibah dan bencana alam terjadi di sekitar kita sekarang. 

Tahun 2020 saja ada 51,6 juta orang terkena dampak bencana alam serta Covid. Sementara di Indonesia telah terjadi 2925 bencana alam dengan bencana terbesar yakni banjir, longsor dan puting beliung.
Aktivitas manusia terhadap alam yang begitu banyak sangat berpengaruh terhadap atmosfer bumi. Matahari yang masuk ke atmosfer pun kadang tidak bisa keluar lagi ke ruang angkasa, sehingga bumi menjadi makin panas, iklim berubah, bencana pun terjadi. 

Sistem pangan yang tidak benar bisa menyebabkan : bencana, kelaparan, dan krisis pandemi. Mengapa pandemi bisa berawal dari sistem pangan yang tidak benar? Karena untuk mendapatkan daerah-daerah perkebunan, persawahan, dan daerah yang alami nyaris sukar akibat banyaknya penebangan, sehingga penyakit serta virus-virus keluar ke permukaan. Inang yang tadinya aman di hutan, mencari inang baru setelah kehilangan hutan.

Belum apa-apa, perbincangan dengan Bu Amanda Katili membuat hati berdesir. Kenyataannya makanan memang merupakan benang merah kehidupan, menjadi tumpuan pembangunan berkelanjutan, dan menjadi alasan utama manusia dalam banyak hal.

Bagaimana cara memproduksi pangan maupun mengonsumsi pangan agar bisa menjadi bagian dari krisis dan solusi iklim saat ini?

Inilah yang akan dilakukan Sekjen PBB António Guterres pada KTT Sistem Pangan, September 2021 nanti, untuk menilik makanan sebagai solusi atas krisis iklim yang terjadi.
Upaya mengatasi krisis iklim dengan makanan bisa dimulai dengan mengonsumsi makanan berbasis nabati, memperbanyak sayur, buah, biji-bijian, kacang-kacangan dibanding daging. Berusaha menghabiskan makanan dan jangan mubazir. Saat ini diketahui Indonesia menjadi negara tertinggi kedua di dunia dalam hal negara terbanyak membuang sampah makanan. Penggunaan air yang berlebihan pun terdapat pada bagaimana kita mengolah makanan. Tidak lupa sebisa mungkin menghilangkan penggunaan plastik sekali pakai, dan menggantinya dengan produk ramah lingkungan.

PEMETAAN KULINER,
DIVERSIFIKASI PANGAN NUSANTARA YANG TERUS BERTAMBAH

Selaku Ketua Sobat Budaya, Nicky Ria Azizman, yang membawa kami ke perbincangan selanjutnya, membuat saya tertegun berkali-kali. Baru kali ini saya mengetahui adanya pihak yang meriset kekerabatan kuliner Indonesia lewat apa yang disebut pemetaan kuliner.

Melihat kekerabatan kuliner di Indonesia sebenarnya melihatnya dari bagian budaya yang bertumbuh di negeri ini.Dengan melakukan pemetaan kuliner Indonesia, bisa diketahui apa saja yang menjadi ketersediaan pangan di negeri ini. Sehingga menurut Nicky, tidak ‘mentok’ di situ-situ saja. Diversifikasi pangan di negeri ini ternyata begitu luas. Ada 30.000 kuliner yang jika satu kuliner dihabiskan dalam 1 hari 1 makanan ternyata membutuhkan waktu 80 tahun untuk selesai. Dengan menggunakan dasar biologi evolusioner, Nicky dan tim melihat kekerabatan pangan yang ada dan hasil risetnya bisa dilihat di perpustakaan digital Indonesia : budaya-indonesia.org

Berdasarkan hasil riset pula telah ada 15 kategori budaya yang telah dikumpulkan dalam web tesebut termasuk makanan dan minuman dari seluruh provinsi. Saat ini telah terkumpul 60.000 data budaya, menurut Nicky sekitar 14.000 data masih belum dipindahkan ke web, sehingga data ini masih bisa terus bertambah.

Nicky dan para peneliti membuat apa yang mereka sebut peta kekerabatan kuliner, yang nantinya bisa diakses di aplikasi Nusa Kuliner. Apa yang bisa dipahami dari peta kekerabatan kuliner ini ? Misalnya saja kekerabatan sambal nusantara, pedasnya sambal Aceh ternyata tidak sama dengan pedasnya sambal Batak atau pedasnya sambal Makassar. Dengan menggunakan peta kekerabatan kuliner dapat ditarik bahan-bahan yang serupa, bahan yang tidak ada di daerah itu, sehingga ketika menemukan perbedaaan kuliner, peneliti juga dapat menemukan banyak persamaannya. Selain bahan dan bumbu, ditemukan pula teknik-teknik pengolahan kuliner baik yang sama, serumpun maupun berbeda antar daerah. Dalam hal ini Nicky Ria Azizman mencontohkan pemetaan kopi.

Sekitar ribuan data ini menurut Nicky, walau terlihat banyak, namun sebenarnya masih sangat sedikit. “Tiga puluh ribu data belum mewakili diversifikasi kuliner di Indonesia yang masih terus berkembang, dan kita harus punya strategi untuk mengamankan data.” Menurutnya lagi, hal menarik tentang kuliner yakni dari segi pengemasan, dan ini belum diangkat dalam pemetaan kuliner. Secara tradisional, masyarakat di daerah Sumatera mengenal pelepah pinang sebagai alas makan, jauh sebelum masyarakat modern menggunakan stirofoam. Sementara itu penggunaan pelepah pinang sebagai alas makan, piring, sendok dan kemasan kini telah dikomersialisasikan di negeri jiran. Bersumber dari Nicky, pelepah pinang ini diekspor dari Kalimantan dan Jambi. Informasi ini tentu membuat kita berpikir ulang, bahwa semestinya di negeri kita yang kaya ini bisa memanfaatkan alam demi melestarikan alam sebelum kita kehilangan kesempatan itu.

"Mungkin kita harus melirik ke belakang, jangan-jangan ada solusi tersimpan di budaya tradisi kita, untuk menyelesaikan problem krisis iklim yang ada sekarang," ucap Nicky Ria Azizman mengakhiri sesinya.


NGOBROL ASYIK MENU RAMAH IKLIM DAN MENU KHAS GORONTALO

Sebagaimana disebutkan, bahwa acara talkshow ini juga dibarengi juga peluncuran e-book. Selain Ibu Amanda Katili, penyusun lainnya adalah Zahra Khan,seorang praktisi UMKM yang aktif di bidang Teknologi Pangan.

Sebagai pelaku UMKM di bidang kuliner khas Gorontalo, Zahra tidak hanya menerapkan makanan ramah iklim pada kegiatannya, namun juga mengajak dan memberdayakan masyarakat sekitar. Zahra mengakui makanan khas Gorontalo memang kebanyakan tidak digoreng, ada yang dibakar atau direbus sebentar. Alas dan pembungkusnya pun lebih banyak menggunakan daun. Kebanyakan masakan Gorontalo juga menggunakan minyak kelapa atau masyarakat di sana menyebutnya minyak kelentit. Sehingga memang lebih ramah lingkungan serta lebih menyehatkan.

Lewat ajakan Ibu Amanda Katili, Zahra Khan pun menjadi bagian dari tim penyusun e-book yang diluncurkan bertepatan dengan acara talkshow tersebut. 
Anda bisa mengunduhnya di bit.ly/e-bookmakananramahiklim

Makanan Gorontalo memiliki khas berbahan ikan, sesuai dengan daerahnya yang di sekitar perairan, di wilayah Teluk Tomini. Masakan ikan ini sering ditambah sayuran seperti jantung pisang, bunga kates (pepaya), dan sayuran yang ada di sana. Lewat e-book yang diluncurkan, Zahra bertutur bahwa makanan yang sehat dan ramah iklim tidaklah harus mahal, cukup mempolakan kebiasaan rajin. Zahra juga mengingatkan untuk tidak gengsi mengolah dan mengonsumsi makanan tradisional, yang erat kaitannya dengan pola hidup sehat dan menjaga lingkungan.

Setiap Minggu, Zahra dan warga mengadakan kegiatan jual-beli di Pasar Seni Warga. Di pasar tersebut selain diberlakukan protokol kesehatan yang ketat, juga diberlakukan transaksi yang aman lingkungan dengan tidak menggunakan plastik serta bertransaksi secara tradisional dengan menggunakan alat tukar keping tempurung. 

Hal yang patut diacungi jempol dari penuturan Zahra adalah warganya yang mau dan senang diajak turut serta dalam berbuat baik terhadap lingkungan.

Dalam penulisan e-book “Memilih Makanan Ramah Iklim + 39 Resep Gorontalo” Zahra menyebutkan menu-menu yang ada dalam buku tersebut adalah menu harian yang ia dan keluarga biasa santap, dengan bahan-bahan yang mudah ditemukan. Memang benar ada menu berbasis ikan yang hanya ditemukan di waktu tertentu, maka masakan tersebut hanya perlu dibuat di waktu tertentu pula. 

KULINER TRADISIONAL
DI MATA INTERNASIONAL

Anggapan  bahwa menu tradisional meski bisa menyelamatkan bumi, namun sukar menyelamatkan 'muka' adalah sebuah fakta yang mungkin bisa menjadi acuan mengapa kita butuh untuk terus menyuarakan kebanggaan terhadap menu tradisional, karena masih ada di sekitar kita yang sungkan menyajikan menu kampung sebagai suguhan utama di acara-acara formal dan besar, dan ini memang nyata adanya. Belajar dari William Wongso, chef Indonesia yang telah mengemuka di mancanegara, bahwa kuliner khas Indonesia bukan sekadar tidak kalah dari menu-menu luar, namun juga mampu menjadi nomor wahid di lidah-lidah orang luar. Dalam talkshow ini, Om William Wongso berbagi tips dan pengalamannya mengenalkan kuliner lokal di dunia luar.

Bagi Wiliam Wongso, menyajikan kuliner Indonesia tidak bisa hanya sekadar menyajikan rasa, tidak cukup hanya bertanya :”Bagaimana dengan masakan ini, apakah enak?” karena pertanyaan tersebut bisa saja dijawab dengan mudah kemudian dilupakan, dengan demikian dibutuhkan untuk mengenalkan unsur budaya di dalam masakan, dan sentuhan komunikasi agar kuliner Indonesia diingat.

Lewat talkshow ini Wiliam Wongso menceritakan perjalanannya menyajikan kuliner Indonesia di luar negeri. Seringkali bahan dan bumbu lokal harus dibawa dari Indonesia, jika memang tidak menemukan bahan dan bumbu lokal di sana. Sementara itu, penyajian kuliner VVIP atau kepresidenan harus berbeda dengan penyajian prasmanan. Prinsip simplicity pun diterapkan. Chef yang pernah berduet dengan Gordon Ramsay ini bercerita pula tentang bukunya yang berjudul “The Flavor of Indonesia” meraih penghargaan sebagai World Best Cookbook 2017 di Gourmand World Cookbook Award. Wiliam Wongso sampai menyebut ‘oscarnya buku’ untuk mengibaratkan nilai penghargaan tersebut.
Best Cookbook of the year 2017

Rahasia buku tersebut menjadi buku terbaik pertama menurut Wiliam Wongso bukan karena dirinya, melainkan karena misteri dan story telling yang tidak ada yang pernah didengar sebelumnya, bila dibandingkan dengan buku-buku masak luar yang sering didengar, yang akhirnya hanya membuat kreasi baru. Pakar kuliner Indonesia ini kemudian mengutip sebuah artikel luar yang menulis bahwa hegemoni cita rasa barat mulai pudar, karena tergerus dengan cita rasa Asia, Amerika Latin dan lainnya. “Indonesia mestinya bisa melihat kesempatan itu,” lanjutnya lagi. Jika masing-masing daerah bisa mengulik kulinernya dan mencari paling khas, maka itu bisa menjadi poros, sehingga dunia luar tidak hanya mengenal rendang sebagai kuliner Indonesia.

Masyarakat Indonesia pecinta kuliner pun hendaknya turut andil dalam menyajikan keotentikan menu khas tradisional tanpa perlu malu dengan kuliner negeri sendiri.

Menu Tradisional dalam Food Plating

Selanjutnya Wiliam Wongso memperlihatkan bagaimana keindahan menu lokal dalam sajian plating
salah satu masakan tradisional dengan kuah kenikir

 

dessert yang pernah disajikan William Wongso di Washington, lagi-lagi menu lokal : (kiri) kue lapis dengan saus alpukat plus kopi espreso dan kelua, (kanan) sorbet kecombrang ditambah lemon.


Memang, di Indonesia tidak mengenal dessert, lebih khas dengan jajanan dan camilan. Apa yang ditunjukkan William Wongso adalah cara menyiasati agar menu-menu lokal dikenal di kancah luar.
Binthe Biluhuta yang nampak elegan


Menyajikan menu tradisional tentu tidak harus dalam plating. Chef William Wongso terus mengingatkan bahwa penyajian menu tradisional dalam plating adalah sebentuk cara agar kita tidak perlu rendah diri, terbukti beliau bisa mejadikan kuliner Indonesia kebanggaan di mancanegara. Kiat lain mengenalkan kuliner Indonesia menurut Chef William Wongso yakni menuliskan nama menu dalam bahasa Indonesia lebih dulu dibanding bahasa internasional. Misalnya saja, saat menyajikan Binthe Biluhuta, William Wongso tetap menuliskan berdasarkan menu aslinya dibanding menerjemahkan menjadi ‘corn soup’ yang tentu saja menu corn soup akan begitu banyak.

Bagaimana makanan yang ramah iklim ini menurut William Wongso ?

Makanan plant based makin banyak diterapkan di luar, sementara di Indonesia sebagaimana kita tahu adalah negeri yang kaya akan makanan nabati. Masyarakat kita sudah menerapkan makanan plant based jauh sebelum kehidupan modern dimulai. Sebagai catatan, plant based tidak berarti harus vegetarian. Chef William Wongso pun menyebut tentang daun micin asal Kalimantan, yang membuat saya ingat kembali untuk menanamnya. Warga Dayak Kalimantan Barat menyebutnya daun sengkubak, sementara di Kaltara daun ini disebut daun bekai, dan daun yang sama disebut daun sungkai oleh Dayak Kalimantan Tengah.
daun micin Kalimantan
sumber : korankaltara.com

Dengan gambaran bahwa Indonesia begitu kaya akan makanan nabatinya, sehingga menurut William Wongso bahwa tidak bisa tidak kita harus berpikir dan bertindak dalam mencegah kerusakan iklim, dan itu bisa diterapkan dari pola makan.

PELESTARIAN LINGKUNGAN
DAN E-BOOK MAKANAN RAMAH IKLIM


Mmenurut Terzi Niode, Sekretaris Yayasan Omar Niode Foundation, penyelenggarakan webinar dan talkshow kali ini berguna demi memperbanyak narasi masa depan yang sehat bagi manusia maupun planet bumi. Untuk itu pilihan makanan perlu diubah, yakni idealnya dengan mengurangi konsumsi daging, serta makanan yang diproses, sehingga mengarah pada makanan yang berbasis nabati.
Terzi Niode : Sekretaris Yayasan Omar Niode


Makanan berbasis nabati : sayuran, buah, biji-bijian, kacang-kacangan, rempah dan herbal, serta umbi.

Mengubah perilaku memang merupakan tantangan yang berat, karena masyarakat akan memilih setidaknya makanan yang sama lezat dengan makanan yang biasa mereka nikmati, mudah diperoleh dan terjangkau tentunya.


Perubahan perilaku ini perlu diawali dengan pola pikir untuk melestarikan lingkungan. 

Konsumsi produk yang ditanam secara lokal akan membantu meningkatkan ekonomi suatu daerah, mendukung para petani dan mengurangi efek gas rumah kaca, serta sumber daya yang digunakan dalam mengangkat pangan. Membeli produk lokal berarti meningkatkan permintaan, dengan demikian petani mempertahankan mata pencaharian. Pandemi dapat berfungsi sebagai titik balik untuk menyempurnakan sistem pangan dan menjadikannya lebih eksklusif, berkelanjutan (sustainable) dan tangguh. Semakin menipisnya sumber daya alam, membuat semakin banyak konsumen yang memilih makanan sebagai cara untuk mendukung budaya makanan lokal, sekaligus menjaga bumi.

Pola makanan ramah iklim menganjurkan masyarakat untuk secara sukarela membantu menyelamatkan planet bumi dengan mengurangi kandungan gas rumah kaca, memicu perubahan iklim, melalui makanan yang dipilih. Sebagai negeri kaya dengan keanekaragaman hayati termasuk tanaman rempah, masakan lokal, Indonesia memiliki citra rasa yang berani dan bervariasi. Semestinya tidak sulit menemukan makanan lokal budaya nusantara. Ini adalah pemaparan Terzi Niode sebelum memasuki diskusi. Pemaparan yang membuat saya mengiyakan dan terus bergerak melakukan hal serupa : menanam, mengonsumsi lebih banyak nabati, serta belajar mengolah sampah rumah tangga.

Talkshow ini juga menandakan peluncuran buku digital keenambelas dari Omar Niode Foundation, yakni "Memilih Makanan Ramah Iklim + 39 Resep Gorontalo" yang dapat diakses di http://bit.ly/e-bookmakananramahiklim dan teman-teman akan menemukan banyak pilihan lezat khas Gorontalo yang menggiurkan.

MENU KHAS GORONTALO,
APA SAJA YA ?

Menu khas Gorontalo lebih banyak diwarnai ikan dikarenakan wilayahnya yang berdekatan dengan perairan. Saya rasa sama dengan Kota Balikpapan, di mana kuliner seafoodnya menjuarai banyak RM terkenal berkat daerahnya yang berdekatan dengan laut. Lewat tayangan video pada talkshow ini saya jadi tahu nama-nama menu Gorontalo yang unik. Ada menu Bilentango, Gohu Putungo, dan Ilabulo. Selain mengenal kuliner Gorontalo dari cerita Zahra Khan dan tayangan video, saya juga berkesempatan mendengar cerita usaha kuliner Gorontalo dari seorang Ihsan Averroes Wumu, pemilik resto Olamita Gorontalo yang berada di kawasan Jakarta. Menurut Ihsan, menu-menu Gorontalo nyatanya dapat menjamah lidah-lidah masyarakat di luar Gorontalo. Terbukti dengan terus bertambahnya pemesanan.


Bahkan di saat pandemi begini, penjualan tetap meningkat. Perubahan cara belanja memang terjadi, yakni lebih banyak via daring. Saat pandemi, pemesanan online mampu mencapai 60% - 70% dibanding sebelum pandemi yang hanya berkisar 30% - 40%. 

Berkaitan dengan program makanan ramah iklim, Olamita Gorontalo turut berpartisipasi dengan memberikan kemasan food grade pada setiap produknya yang dibelanjakan konsumen. Apa saja menu yang ada di resto Olamita Gorontalo ? Tentang ini, saya mesti menahan pandangan, karena hanya bisa menikmati lewat layar. Ada menu Mujair Bilentango, di mana ikannya dibelah dan diberi rica kemudian diperas lemon cui. Ada  Udang Wokubalanga, Tuna Wokubalanga, Tuna Balarica yang menjadi menu andalan, Tuna Bakar Dabu-Dabu, Kuah Asam Kepala Salmon, Nasi Kuning Cakalang. Menunya tidak hanya yang gurih ya, banyak juga menu manis, bahkan kopi khas juga disedikan di resto ini.
Semua menu ini bisa dilihat di Instagram : OLAMITA GORONTALO dan bisa dipesan secara online.

BERAKSI UNTUK MENYEHATKAN BUMI !

Menyerukan makanan sehat ramah iklim tak hanya cukup sekali, tak cukup hanya di talkshow ini. Butuh langkah konkret di dunia nyata dan menggemakan di dunia maya. Saya teringat petuah orang tua di saat masih kecil : "Habiskan makan, jangan mubazir, makan secukupnya, hargai makanan sendiri, makanan negeri sendiri lebih baik, dan jangan jajan yang banyak plastiknya :D"
Ini adalah nasihat mereka yang ternyata mesti saya ulang-ulang pada hari ini. 

Banyak pilihan makanan daerah yang kaya akan nabati. Chef William Wongso menyebut masyarakat Indonesia sungguh sangat kreatif dalam mengolah pangan. Coba saja sebutkan ada berapa menu singkong, bahkan daun dan kulitnya pun bisa menjadi pangan. Berapa banyak olahan pisang tradisional di negeri ini? Mungkin seharian akan penuh catatan kita. 
pisang gapit, kuliner tradisional dari pisang yang dibakar

cempedak : tidak hanya buahnya, daging kulitnya menjadi menu masakan dan lauk.
Kini, olahan mandai alias kulit cempedak perlahan merambah pasar luar negeri.

Memilih makanan ramah iklim, berarti juga melestarikan keanekaragaman hayati, tidak bertindak berlebihan dalam mengonsumsi (rakus dan mubazir), peduli terhadap proses pengolahan dan pengemasan makanan. Pilihan makanan kita besar kontribusinya pada keberlangsungan hidup manusia dan bumi.

Tabik.

----

Posting Komentar

Terimakasih telah membaca, silakan berkomentar yang baik. Mohon tidak menaruh link hidup, situs yang mengandung SARA, judi online, web scam dan phising, karena akan dihapus.

Lebih baru Lebih lama