Merawat Balik Asa Masyarakat Adat Balik (Bagian 2)

suku Balik Sepaku


PERJALANAN MENJUMPAI MASYARAKAT ADAT BALIK DI SEPAKU, “KAMI MASIH ADA.”


Hujan deras, gemuruh, lampu padam, dan banjir di depan rumah Pak Medan, Pemangku Adat Suku Balik. Sore sudah menjelang senja, dan saya tidak tertarik melewati genangan air yang sudah semata kaki itu untuk menuju jalanan. Lebih baik menunggu hingga surut saja. Kami pun melanjutkan obrolan kembali. Rumah kayu Pak Medan berbentuk panggung, air memang tidak masuk ke dalam rumah. Daerah tempat tinggalnya memang rendah. Menurut Pak Medan, air memang mudah mengelilingi rumah jika hujan sangat deras. Namun, menurutnya hal ini makin sering terjadi, dibandingkan dahulu, tanpa meyebutkan kapan dahulu tersebut.

Pemangku Adat Suku Balik
Pak Medan, ketika dikunjungi di rumahnya.

Saya memerhatikan lelaki itu tidak tertarik untuk memaki alam. Padahal sepanjang sore, suara hujan dengan bunyi guntur yang mengagetkan kerap menutup obrolan kami. Tetapi, tak satu kata buruk pun terlontar untuk komponen abiotik alam itu. Bisa dipercaya bahwa lelaki ini dan alam sudah sangat bersahabat. Bagi Suku Balik, tanah, air dan hutan alias tana, danum, dan lawang adalah IBU bagi mereka. Tanah dan hutan yang memberikan kehidupan bagi orang Balik, telah berkurang ketika perusahaan kayu datang mengambilnya. Perusahaan yang tidak punya sejarah atas tanah, hanya bermodal surat yang mereka sebut sah, membuat orang-orang Balik di sana mengalah. Kemudian, kehidupan mereka kembali berlanjut sebagaimana mestinya Namun, di tengah pelaksanaan mega proyek IKN baru-baru ini, mau tak mau masyarakat adat Balik bersuara.

“Tentang IKN ini, saya mendukung. Namanya pembangunan kan pasti ada, dari dulu juga ada. Tapi, saya berharap jangan ambil hak-hak rakyat, dan tolong kami yang ada di sini dilibatkan juga,” ucap Pak Medan.

Lelaki itu tidak bersedih atas cuaca, dia bersedih ketika tahu tentang IKN justru dari media. Dia dan masyarakat lain baru tahu akan ada pembangunan besar-besaran di Sepaku justru dari pihak luar. Mengenai ini, Pak Medan beserta tokoh masyarakat adat lain yang ada di Sepaku mengaku tidak dilibatkan dalam perencanaan menyambut calon ibu kota baru. Belum ada obrolan terkait perencanaan atau UU IKN. Padahal sampai 2020, seluruh desa dan kelurahan di Kec. Sepaku telah diperkirakan masuk dalam lingkup IKN. Sampai Desa Bumi Harapan yang beliau diami pun akhirnya masuk dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) dan zona dua IKN. Pada 31 Januari 2022, Presiden mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Kesultanan Paser, Kesultanan Kartanegara, dan tokoh adat Dayak di Balikpapan. Baru pada 14 Maret 2022, ada pertemuan antara Presiden dengan para tokoh adat KalTim di Sepaku. Pertemuan tersebut dapat disebut sebagai wujud partisipasi. Namun, belum sepenuhnya dapat disebut ajakan keterlibatan atau pun diskusi dengar pendapat masyarakat adat setempat yang rentan terdampak. Tercatat ada 21 komunitas adat di kawasan IKN Nusantara, 19 komunitas berasal dari Kab. PPU, 3 komunitas adat berasal Kab. KuKar.

KIPP Sepaku
menuju KIPP = Kawasan Inti Pusat Pemerintahan


“Belum ada kami ini diketemukan (untuk diskusi). Ada yang ukur-ukur (tanah), tapi ya lewat, lewat aja." Tentang pelibatan, sampai akhir 2021.

Cerita Pak Medan berkembang. Bukan hanya tidak dilibatkan, tidak diajak diskusi dalam perencanaan atau pembuatan peraturan pembangunan di calon ibu kota negara baru, khususnya peraturan yang akan berdampak pada warga, beliau juga mengalami kehilangan. Tanah hasil jerih payah yang telah ia bagikan dengan adil untuk enam anaknya, disertifikatkan oleh orang luar yang bukan berasal dari Sepaku. Orang ini kemudian menjual tanah tersebut dan sudah mendapatkan uang muka (down payment) dengan harga ratusan juta. Pak Medan tidak sanggup mendapatkan tanahnya kembali. Tiga anak Pak Medan akhirnya mengalah. Sampai kini, Pak Medan, masyarakat adat, juga masyarakat yang lahannya masuk dalam wilayah inti IKN, masih berjuang untuk mendapatkan kejelasan tanah mereka dan berharap bisa dilibatkan sepenuhnya dalam setiap poros pembangunan apapun itu ke depannya. Mereka juga masih menagih janji pada pihak yang berkata bahwa tidak ada tanah adat dan tidak ada tanah masyarakat yang akan digunakan untuk pembangunan ibu kota baru.

Ucapan Pak Medan terdengar tidak berapi-api, tenang namun tertuang bimbang. Ada pilu dalam guratan senyuman. Berulang kali terucap pertanyaan, “Bagaimana ya kami ini …, Mau gimana gitu ya kami ini …,” lalu terhenti sendiri. Pertanyaan yang tidak diajukan ke saya, pun ke dirinya yang tidak tahu jawaban. Pertanyaan-pertanyaan tak tuntas yang hanya ingin ia lepas, agar sekadar bisa menarik napas. Hanya ada sesekali jejak gusar yang terlintas, ketika beliau mendengar seloroh bahwa lokasi IKN itu hutan semua, tidak ada manusianya. "Lalu, kami ini dianggap apa? Kami ini manusia. Kami masih ada loh," ucapnya dengan suara yang samar.

Hujan deras di luar baru menawarkan reda hingga senja benar-benar tiba. Kami menyempatkan bercerita tentang masa-masa indah kala Sungai Sepaku masih sering membawa Pak Medan menembus Balikpapan untuk menukar hasil tani dan kebunnya. Bertani adalah kemuliaan hidup bagi Suku Balik di Sepaku. Cerita Pak Medan membawa gambaran pada sosok ayah pekerja keras yang bolak-balik mengarungi arus sungai membawa hasil garapan tanah sambil bercita-cita kelak ketika tua, dia dan anak cucunya dapat menikmati hasil jerih payah dalam ketenangan hidup. 

banjir
hujan deras, petang, dan banjir (9/3/2023)

Senja pun tiba, saya bersiap mencelupkan kaki dalam genangan yang tidak mau berlalu. Listrik masih padam, terpaksa lampu handphone dinyalakan agar bisa melihat pergerakan di bawah air. Hanya dua ekor bebek tampak bahagia di atas air, selebihnya suram. Sawah di kanan kiri yang tadinya tampak indah, sudah tertutup air. Rupanya banjir lebih luas lagi ketika saya tiba di jalanan besar. Orang-orang tampak ramai di pinggir jalan berbagi informasi tentang pemadaman dan banjir.

sawah banjir
10 Maret 2023, sawah yang masih tertutup penuh air di pagi hari, setelah banjir kemarin.



Kampung Tua Sepaku Lama

Beberapa hari kemudian, pada 13 Maret 2023, saya mengunjungi Sepaku Lama. Orang-orang menyebutnya daerah Lokdam (log dump). Di dekatnya sedang dibangun Intake (bendungan) Sungai Sepaku yang akan berfungsi sebagai penyedia air baku di IKN serta penanganan banjir atau yang disebut normalisasi sungai. Rencananya, bendungan ini akan dibangun dengan konsep bendung gerak (obermeyer). Bersebelahan dengan proyek ntake terdapat areal persawahan dan perkampungan. Masyarakat adat Suku Balik juga masyarakat lokal yang ada di sini kebanyakan adalah petani, dan peladang. Memang, tampak asri sekali daerah ini. Masih banyak rumah panggung, sungai, sawah, dan makin ke ujung bisa berjumpa hutan.

rumah kayu
rumah penduduk di Sepaku Lama

sawah
sawah berbatasan bendungan intake

Pak Sibukdin, Kepala adat Suku Balik sedang bersiap mengadakan rapat dengan orang-orang Balik lain yang ada di situ. Karena tidak banyak obrolan yang kami buat, maka saya pun bertandang ke rumah orang Suku Balik lainnya.

“Sudah banyak media datang ke sini. Tapi, tidak ada juga perubahan,” ujar Pak Sibukdin kecewa.

Setelah ucapan itu, barulah saya tahu bahwa proyek intake ini akan menggusur warga Suku Balik yang dapat mengakibatkan mereka kehilangan ruang hidup. Rapat yang mereka gelar ditujukan untuk melakukan aksi menolak relokasi. Salah satu peserta aksi memperlihatkan desain intake teranyar sembari menyebutkan wilayah-wilayah mana yang akan tergusur, termasuk wilayah yang mereka tempati. Ancaman kepunahan itu rupanya di depan mata.

rumah kampung
rumah yang membelakangi proyek

Jika berbicara tentang Sepaku Lama, maka yang terpapar bukan hanya pemukiman orang-orang Balik, namun juga sejarah, leluhur, peradaban yang berkembang sejak awal adanya Sepaku sebelum masyarakat trans dan industri datang. Suku Balik Sepaku Lama tidak ingin direlokasi karena relokasi hanya akan membuat mereka sebagai kaum pendatang di tanah orang.

“Kami asli suku di sini. Kami tidak menentang pembangunan, tapi kenapa kami tersingkirkan,” ucap mereka, berusaha memancang teguh di atas tanah yang mulai rapuh.

suku Balik
suara dari Masyarakat Adat dan Perempuan Adat Balik

tuntutan aksi



Menolak relokasi tidak sama dengan menolak pembangunan. Pada dasarnya mereka baik-baik saja dengan perubahan yang ada dan mendukung sepenuhnya untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Namun, dua situs bersejarah Suku Balik berupa Batu Badok/Badak dan Batu Tukar Tondoi telah lenyap sehubungan dengan adanya intake. Padahal situs ini diberi penanda berupa kain kuning yang diikat. Masih ada pula kuburan leluhur yang sebelumnya sudah tergusur. Kini, tanah, rumah, sejarah, dan ruang hidup mereka yang terancam punah. Sosialiasi yang ada berasa membujuk warga untuk menyerahkan tanah, dan bukan melibatkan peran serta, atau kolaboratif ide antar warga dengan pengembang proyek. Jadi wajar, jika mereka merasa perlu untuk dilibatkan dalam setiap kebijakan perkembangan pembangunan yang ada di tanah itu, agar berjalan adil dan layak.

Berdasarkan rapat bersama tersebut, hadirlah 8 tuntutan dari warga Balik sekaligus sebagai warga Sepaku Lokdam.
  1. Masyarakat adat suku Balik di lokasi IKN terdampak menolak program penggusuran kampung.

  2. Masyarakat adat Sepaku tidak mau direlokasi atau dipindahkan ke daerah lain.

  3. Masyarakat adat menolak penggusuran situs-situs sejarah leluhur, kuburan atau tempat-tempat tertentu yang diyakini masyarakat adat sebagai situs adat suku balik turun-temurun.

  4. Masyarakat adat suku Balik menolak dengan keras relokasi atau dipisahkan dari tanah leluhur mereka.

  5. Masyarakat adat suku Balik di Kecamatan Sepaku menolak perubahan nama kampung nama-nama sungai yang selama ini warga sudah kuasai turun menurun.

  6. Masyarakat adat suku Balik meminta kepada pihak pemerintah segera membuat kebijakan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Suku Balik di Kecamatan Sepaku.

  7. Meminta Pemerintah melakukan perhatian khusus terhadap suku Balik yang terdampak aktifitas pembangunan IKN, baik dampak lingkungan serta dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat adat suku Balik di Kecamatan Sepaku.

  8. Masyarakat adat suku Balik menolak serta tidak bertanggungjawab jika ada tokoh atau kelompok yang mengatasnamankan mewakili atas namakan suku Balik melakukan kesepakatan terkait kebijakan di IKN tanpa melibatkan secara langsung komunitas adat.


suku balik
berpartisipasi dalam menyuarakan hak, agar pembangunan berjalan adil dan bijak


Aksi ini hanya terjadi di perkampungan Sepaku Lama, dengan hanya berjalan memasang spanduk di beberapa titik, tanpa adanya orasi. Siang yang awalnya panas terik perlahan mendung gerimis. Para ibu bercerita tentang tanaman yang mereka jumpai. Seumur-umur, saya baru tahu bahwa daun dari buah kelubut atau rambusa (passiflora foetida) bisa disayur dan akarnya punya manfaat. Selama ini, hanya buahnya saja yang disantap. Pak Mustafa (Suku Balik) tersenyum, ketika saya katakan banyak orang Balikpapan tidak tahu tentang suku Balik. “Kami masih di sini. Kami masih ada,” ujarnya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19/2021 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dinyatakan bahwa warga/masyarakat yang terkena dampak berhak untuk menyatakan penolakan dan keberatannya yang tertuang dalam pasal 33 dan 34.

Masih berdasar PP No.19/2021 pasal 37 dan 39 jika keberatan warga diterima maka proyek pembangunan yang memerlukan pengadaan tanah tersebut dapat dibatalkan atau dipindahkan.
Aksi warga Sepaku ini merupakan bukti kepedulian mereka terhadap sejarah Sepaku itu sendiri.

Pada 15 Maret 2023Pihak Otorita IKN (OIKN) telah menerima dialog dengan Suku Balik. Website resmi IKN merilis adanya jaminan tidak akan melaksanakan pembangunan sebelum permasalahan dengan warga Suku Balik beres.

Namun, kabar sedih datang pada 17 Maret 2023. Kampung Sepaku Lama, dan beberapa desa serta kelurahan di Kec. Sepaku (Binuang, Sukaraja, Tengin Baru, Karang Jinawi, Kel. Pemaluan) mengalami banjir parah setelah hujan deras dengan intensitas yang cukup tinggi dengan ratusan rumah terdampak.

Kawasan yang berada di bentaran sungai yang merupakan area rendah memang mudah mengalami banjir, dengan kondisi genangan bertahan 2-3 jam. Namun, menurut mereka, makin ke sini (makin tahun) lebih sering banjir, dengan durasi surut lebih lama. Seorang Ibu warga Sepaku berkata, "Ini belum apa-apa, kita sudah mau tenggelam."

banjir ibukota baru
banjir di Sepaku, 17/3/2023

*

Sekembalinya dari Sepaku Lama, teringat ucapan seorang perempuan Balik, “Kalau bukan orang asli (Sepaku) diberi uang, dia bisa mudah pergi, dia bisa kembali pulang. Karena tanah adat dia bukan di sini. Budaya mereka tidak berakar dari sini, dan leluhur mereka tidak dikubur di sini. Tidak. Kami tidak bisa begitu. Ini rumah kami.”

Bagi Suku Balik Sepaku, jika mereka pergi, mereka hanya akan menjadi pendatang di negeri orang, dan apa yang tersisa dari mereka sudah tidak ada. Dan jika nanti mereka bercerita tentang kejayaan yang pernah mereka alami pada anak cucu, maka bukan tidak mungkin generasi itu hanya akan menganggap cerita mereka sebagai dongeng-dongengan belaka. Sama seperti hari ini ketika mereka dianggap hanya suku legenda dari sebuah kota.
*

Sebelumnya:



Posting Komentar

Terimakasih telah membaca, silakan berkomentar yang baik. Mohon tidak menaruh link hidup, situs yang mengandung SARA, judi online, web scam dan phising, karena akan dihapus.

Lebih baru Lebih lama