Sentuhan Surgawi di Tanah Dieng


Terusik Kenangan Dieng 

Tidak sekali pun terpikir bagi saya pergi ke Dieng. Seberapa banyak saya mendengar kata ‘Dieng’, pesona Dieng, tayangan tentang Dieng, tidak pernah ada mimpi untuk berkunjung ke negeri atas awan ini. Bukan karena saya tidak terpesona, atau tidak berhasrat mencicipi sebuah keindahan. Hanya saja, bermimpi terlalu indah membuat saya khawatir terperosok. Apalah saya yang nun jauh dari Pulau Jawa ini dengan Dieng yang tinggi di sana. Mungkin ini kata yang tidak terlalu sempurna untuk menggambarkan, tapi kira-kira begitu yang saya rasakan saat itu. 

Satu hari sebelum melakukan perjalanan ke Dieng, saya berhenti memikirkan ingin ke suatu tempat A, B maupun C. Bisa berkunjung ke Wonosobo saja tanpa diduga, menjadi bentuk syukur yang berlipat. Adalah kawan suami yang saat itu menjemput di Purwokerto, yang kami pikir beliau ini tinggal di Purwokerto tersebut. Nyatanya, perjalanan kami berlanjut hingga ke Wonosobo, menuju sebuah rumah nan sejuk di balik Gunung Sumbing. 

Saya terpukau. 

Ketertakjuban memandang Sumbing dan menikmati suasana Wonosobo rupanya masih ditambah dengan ajakan ke Dieng. Dieng? Dataran tinggi itu? yang katanya negeri di atas awan? pikir saya. Malam sebelum keberangkatan, saya masih berharap cemas. Jangan-jangan setelah terbangun, semua ajakan itu dibatalkan.

Berkunjung ke Dataran Tinggi Dieng

Syukurlah semua tidak berakhir di atas harapan semata. 

Saya akhirnya benar-bernar bertolak ke Dieng. Selama perjalanan saya disuguhkan narasi Dieng dari sebuah audio yang diputar kawan. Selama perjalanan saya mencerna penjelasan yang indah itu selaras dengan keterpesonaan saya terhadap pemandangan di depan mata yang begitu memukau. Saya merasa seperti anak kecil yang menerima hadiah, menganga dan terwow sepanjang jalan. 
pemandangan sepanjang perjalanan

Dari penuturan kawan, saya jadi tahu bahwa Dieng terletak di dua kabupaten, yakni Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Dieng berasal dari kata ‘di’ dan ‘hyang’ atau tempat Dewa. Sewaktu saya mendengar sebutan tempat para Dewa bersemayam, saya mengaitkan dengan keindahannya . Bebukitan yang berombak, lereng yang berundak, hijau yang tumpah di daratan, candi dan kawah adiwarna, hingga dersik yang menggelitik. Bahkan semua itu pun masih belum cukup meggambarkan Dieng. Satu tempat sejuta pesona. Datang saja ke Dieng, dan nyaris semua tempat wisata yang kau inginkan tersedia. Sebuah negeri kayangan. 

Saya bersyukur pada akhirnya bisa menikmati matahari terbit di Sikunir, mampir di Telaga Cebong, mengenal Kawah Sikidang, berjalan-jalan melihat candi-candi, menuju Telaga Pengilon dan menengok Gua Semar serta Gua Sumur. 
pagi hari di Sikunir

kawah Sikidang


Berada di ketinggian rata-rata sekitar 2000 m di atas permukaan laut, wajar bila Dieng disebut negeri di atas awan. Kabut eksotik mengawang di sekitarnya. Dingin memeluk siapa pun yang berada di sana. Saya yang memakai jaket besar kedodoran, berkemul sarung tangan pun masih kedinginan. Apa mau dikata, orang Kalimantan yang terbiasa dengan dekapan cuaca hangat ini, jadi merasa lugu di negeri yang dingin. 

Dieng merupakan dataran yang di bawahnya terdapat kaldera, masih tergolong kawasan aktif vulkanik di Jawa Tengah. Saya berasumsi inilah mengapa Dieng menjadi wilayah subur dengan aktivitas pertanian sebagai sumber penghasilan utama masyarakat di negeri atas awan ini. 

Ada hal lucu ketika mengingat tanaman dan komoditas Dieng. Orang yang mengajak kami menyebutkan tanaman yang terhampar dan yang saya tunjuk, bahwa di sana ada kentang Dieng, pepaya Dieng, cabai Dieng, dan saya mengangguk-angguk karena merasa lucu. 
Mengapa begitu mudah menamakannya dengan kata Dieng? Sampai kemudian saya tahu, misal saja pepaya Dieng atau lebih dikenal dengan carica (baca : karika) memang adalah pepaya Dieng. Maksudnya, pepaya ini bukan jenis pepaya biasa, melainkan pepaya spesial. Carica hanya tumbuh di Dieng, di udaranya yang sejuk dan ketinggiannya yang terjaga. Jika membawa tanaman pepaya carica ke daerah lain, kemungkinan akan menjadi pepaya biasa. 

Sececah Keunikan Surgawi Terhampar di Dieng

Dari Kentang, Carica dan Cabai di Dieng 

Surga adalah kemewahan tiada tara. Telah termaktub dalam kitab suci. Kata surga juga menjadi pengibaratan bagi keelokan tempat-tempat di muka bumi. Datang saja ke Dieng, dan kau akan merasakanketertarikan akan pesona Dieng dan kalau kau punya perasaan mendalam, kau pasti akan kagum pada Sang Penciptanya. Sungguh luar biasa apa yang telah Dia ciptakan di Tanah Dieng. 

Setibanya di Dieng kami diajak untuk singgah di rumah orang tua dan saudara kawan. Keduanya adalah petani. Di belakang rumahnya saya bisa melihat tanaman kentang, wortel berpadu dengan kolam berisi ikan-ikan yang ramai. Seingat saya mereka pun baru saja panen kentang. Kami makan dari hasil pertanian Dieng dibarengi suguhan cabai Dieng. Lagi-lagi kawan saya berkata bahwa cabai Dieng itu istimewa, cabai gendut yang super pedas, dan lagi-lagi saya mengangguk, sambil menahan pedas.
lahan pertanian yang sempat terpotret

Saya suka tanah Dieng ini. Di waktu siang, saya menyempatkan menyentuh tanahnya. Mungkin agak norak bagi Anda yang membaca ini. Tidak mengapa. Saya ingat tanahnya hitam, tidak keras, cukup lembab, melambangkan tanah yang subur. Sebuah sumber menyebutkan bahwa tanah Dieng berkemampuan untuk menyediakan lengas yang tinggi, yang dibutuhkan tanaman. Kesuburannya berasal dari unsur haranya, dan serapan pupuk organik yang baik. Unsur lain melengkapi alasan mengapa kentang menjadi komoditi utama dalam pertanian, berkat keempukan kentang Dieng yang sudah ternama.
petani kentang di Dieng
sumber : https://lifestyle.okezone.com

Carica dan Cabai dari Dieng Plateau 
Selain kentang, saya masih takjub dengan dua tanaman ini. Sebagai penggemar tanaman dan kebun rumahan, baru kali itu saya menemui pepaya dan cabai yang unik. 

Menurut sejarah masyarakat di sana, asal mula carica disebut-sebut dibawa oleh Pemerintah Hindia Belanda pada masa dulu dan dikembangkan di Dieng. Hingga akhirnya carica menjadi pepaya khas Dieng dan juga menjadi oleh-oleh khas Dieng. Sebut saja manisan carica, dan orang-orang pasti mengira Anda dari Dieng. Carica punya sebutan lain yakni pepaya gunung, karena memang hanya cocok ditanam di daerah dataran tinggi, sekitar 1500 m di atas permukaan laut. 
pepaya carica
Sumber : Wikipedia

Lain carica, lain pula cabai Dieng. Kawan saya ini menjelaskan bahwa cabai Dieng yang tingkat kepedasannya menjadi ciri khas ini bernama cabai gendol atau nama lainnya habanero. Sewaktu mendengar habanero, baru saya merasa pernah mendengarnya. Kalau tidak salah di kalangan pecinta tanaman cabai. Tingkat kepedasan cabai habareno mencapai 100.000-350.000 skala scoville (skala yang menjadi tolok ukur tingkat kepedasan cabai). Semakin tinggi skalanya, semakin pedas rasanya.
cabai gendol
sumber : Wikipedia

Sempat saya bertanya, mengapa cabai yang begitu pedas yang dibudidayakan? Jawabannya sungguh sederhana dan mengena. Wajar saja, karea Dieng Plateau merupakan daerah yang dingin, jadi cocok dengan yang super pedas. Oh, iya benar juga, saya pikir. Entah mengapa saat itu, saya jadi telat mikir. 

Meneropong Dieng, Warisan Budaya yang Komplit

Sayangnya, sebuah kesedihan sempat merayap di benak. Obrolan menarik yang diceritakan kemudian tentang pertanian di Dieng adalah pada tahun yang berkelanjutan, telah terjadi degradasi lahan, di mana lahan yang seharusnya menjadi lahan konservasi berubah menjadi lahan pertanian. Tentu ini miris, mengingat dalam waktu yang lama, kondisi ini bisa saja akan merusak Dieng Plateau. Obrolan kami memang tidak banyak membeberkan data. Sampai saya menemukan artikel-artikel yang membahas lahan Dieng yang semakin kritis akibat cara tanam yang tidak ramah lingkungan.

Dulu, saya berpikir kerusakan warisan budaya mungkin lebih banyak disebabkan vandalisme. Nyatanya, warisan budaya masih terbagi menjadi Warisan Budaya Benda dan Warisan Budaya Takbenda. Termasuk Warisan Budaya Takbenda adalah adat (kebiasaan) masyarakat serta pengetahuan mengenai alam baik mikrokosmos, makrokosmos, adaptasi, dan pengolahan alam. Bagaimana mempertahankan alam agar tidak menjadi rusak dan mengalami bencana adalah juga bagian dari mempertahankan warisan budaya. 

Mengapa demikian ?
Karena negeri kayangan ini sungguh unik. Di atasnya terhampar banyak situs cagar budaya yang merupakan dari Warisan Budaya berwujud fisik. Ada komplek percandian, artefak, bahkan penemuan candi bukan hal aneh di Dieng hingga sekarang. Selain itu, masih ada adat istiadat, kesenian, lansekap, cerita-cerita rakyat dan penemuan benda-benda kuno yang juga termasuk warisan budaya. Melindungi alamnya, melindungi pula warisan di atasnya.

Menjaga Tanah Dieng, Menjaga Warisan Budaya, Menjaga Negeri


Keunggulan Dieng itu terletak pada keindahan alam, tradisi dan peninggalan sejarahnya. Semua itu butuh upaya untuk dilestarikan. Sementara kerusakan alam yang dilakukan manusia perlahan-lahan dapat merusak Warisan Budaya yang bernapas di Dieng. Bahkan wacana Dieng Plateau sebagai situs warisan dunia pernah dikemukakan. Siapa yang tidak bangga jika demikian? Namun, perlindungan Warisan Budaya tidak mungkin meninggalkan perlindungan terhadap warisan lainnya. Adaptasi dan kebiasaan masyarakat yang tidak berkenan terhadap penjagaan alam, seyogyanya patut dibenahi. Dengan demikian, tradisi elok masyarakatnya dalam melestarikan lingkungan menjadi kombinasi dengan keunggulan lain di Dieng yang patut dipertahankan. 

Dieng, sececah pesona surga ada di tempat ini. Ada sentuhan surgawi di tanah Dieng. dari datarannya rata hingga yang berlekuk. Surga mana yang tidak ingin kita jaga? Satu bentuk penjagaan surga adalah tidak mengabaikan larangan. Upaya perlindungan Warisan Budaya sangat membutuhkan masyarakat yang terbina. Ini bisa dimulai dari petani-petani muda, dengan mengarahkan pada pola pikir yang berorientasi cinta alam, maka kiat bertaninya pun akan mengedepankan perlindungan terhadap alam. Hutan di Dieng yang menipis bisa ditanami kembali. Dieng bisa menjadi penghasil komoditi selain kentang. Ini justru akan menambah kekayaan alam di Dieng.

Sampai sekarang, melukiskan keindahan negeri kayangan Dieng lewat kata-kata ternyata masih tidak mudah bagi saya. Saya masih berharap bisa merasakan sejuknya Dieng kembali, menyusuri danaunya, mencicipi carica, menanti matahari terbit, duduk terpukau di atas awan sembari menatap barisan pegunungan, dan tak lupa bersyukur pada-Nya. Semoga.

***

Bahan Bacaan :
sececah = secolek, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sececah
https://nasih.files.wordpress.com/2011/05/2010-kesuburan-lahan-petani-kentang-di-dieng.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Warisan_Budaya_Takbenda_Indonesia
https://lifestyle.okezone.com/read/2015/09/04/298/1208126/kentang-dieng-terkenal-karena-empuknya








2 Komentar

Terimakasih telah membaca, silakan berkomentar yang baik. Mohon tidak menaruh link hidup, situs yang mengandung SARA, judi online, web scam dan phising, karena akan dihapus.

  1. Dari dulu pengin ke Dieng tapi belum kesampaian. Pengin liat sunrise, candi-candi dan juga tradisi anak gimbal. Tertarik banget dengan tradisi tersebut. ^^
    Memang Dieng ini pemandangannya surgawi banget ya mbak.

    BalasHapus
  2. lama banget rasanya tidak mampir kesini, blognya makin kece

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama