Guru Apalah-apalah: Part 2

Saya sedang duduk di kantor. Membaca beberapa materi pelajaran dan menyimak obrolan rekan. Ada suatu tarikan dari luar, suaranya keras. Sreeet… sesuatu digeret. Rupanya sebuah kursi. Dan kursi itu tepat berhenti di muka saya. Seorang anak langsung duduk diatasnya, tanpa basa-basi tanpa salam menghormati.

“Guru baru? Siapa namanya? Ngajar apa? Ngajar dimana lagi selain disini? Nanti ngajar juga nggak di kelasku? Aku XXX, Kelas XI.”

Saya sedang tidak ingin menjawab pertanyaannya yang sebenarnya pertanyaannya lebih banyak dari yang saya tulis ini. Penampilan dan keberaniannya lebih membuat saya ‘tersaluti’. Wajahnya ceria tak bertampang bersalah, ada anting di satu telinganya. Dan saya tidak berniat menjawab pertanyaannya karena saya tahu sebentar lagi dia bakal…
PLAK!
Jangan tanya ini bunyi apa, dan siapa yang melakukannya. Karena sudah jelas kami berada di kantor guru. Dan tidak ada penyebutan kantor lagi selain ini. Ruang guru, ruang KepSek, BK, sampai toilet guru merupakan satu paket disini.

●●●
Sebenarnya tidak ada niat untuk membuat ini berseri. Bermain tarik ulur memori seperti ini sebenarnya kurang nyaman. Hanya saja saya kesulitan menuliskannya secara utuh, panjang namun tepat sasaran penyampaian. Kesulitan karena waktu ngeblog yang terbatas. Tapi yah, bisanya cuma begini. Satu minggu berada di Malang membuat saya kesulitan ngeblog. Tulisan DIY: Hiasan Kulit Bawang saya buat via mobile. Dan itu-nggak-enak-banget.

Meskipun saya mengawalinya di Hari Pertama, namun di bagian ini cukup random.

Biar nggak bingung, baca dulu: HARI PERTAMA

Jadi intinya, kelas lain pun sebelas – duabelas, hehe. Sedikit beda dengan kelas X, karena masih banyak anak baru. Sedikit.

Setelah kejadian itu, para guru berbagi kisah mereka.

“Anak sini memang gitu bu. Anggap saja disini bengkelnya.” Saya sering mendapat petuah seperti itu. Sejauh yang saya ingat, saya lebih banyak menyerapnya daripada protesnya. Biasa, masih baru.

Eh, tadi saya menyebut anting ya. Biar lebih menggigit, sini saya gambarkan seutuhnya.

Penampilan yang seadanya:


Kebanyakan dari mereka memakai anting. Ada yang satu ada yang dua. Ada yang cuma dijepit, ada yang benar-benar ditindik. Rambut pun berwarna-warni. Ada seorang murid yang saya ingat, yang saban berapa minggu gitu bisa gonta-ganti warna rambut. Yang paling frontal saya ingat warna hijau. Yang perempuan ada juga tapi tidak seberapa. Soal berpakaian. Anak-anak ini berpenampilan seadanya dan sesederhana mungkin. Sesederhana. Seadanya. Kalau ada T-Shirt putih ya itu yang dipakai ke sekolah.

T-Shirt.

Ini bukan karena mereka tidak punya baju sekolah. Mereka punya. Selain punya baju, mereka juga punya alasan. “Bajuku basah pak yang itu,” misalnya. Atribut sekolah juga jarang dikenakan. Ada juga anak yang malu dengan sekolah ini, dan merasa nyaman dengan label sekolah mereka yang lama yang punya prestise dibanding sekolah ini. Jadi, seperti itulah. Seadanya.

Berbahasa seadanya:

Kemampuan berbahasa pun apa adanya. Kita abaikan dulu kekasaran yang timbul. Kalau saya dipanggil situ, itu karena kemampuan berbahasa anak-anak ini standar. Atau di bawah standar apa ya nyebutnya?

Misalnya begini, “Dia kemana hari ini, kok telat masuk kelasku?”

Pemilihan kata dia (ini kata ganti untuk saya ini lho ya) lebih nyaman di lidah ketimbang kata ‘beliau’. Dan jarang banget saya temukan anak yang menggunakan kata ‘saya’ untuk menyebut dirinya. Selalu aku. Faktor kebiasaan memang mendominasi. Ada beberapa hal yang saya cermati:
  • Dengan keberagaman suku di Balikpapan, bahasa yang ditimbulkan menjadi unik. Orang Balikpapan sering menambahkan partikel; nah, sih, gin, kan dan juga kata sudah dalam sebuah kalimat. Kira-kira begini:  “Makan sudah nah, capek aku nungguin piring kosongmu tu nah.”“Sabar nah, tambahin dulu gin ikannya. Kita ini kan baru datang. Ndak tau sih situ capeknya.”
    Kata kita ini sebenarnya sering digunakan untuk menggantikan diri sendiri. Tapi, ada juga suku lain yang menggunakan kata Kita sebagai kata ganti untuk penyebutan anda, sampeyan.
  • Secara personal, saya orangnya kecil. Hmmm.. nggak tinggi maksudnya. Dan belum menikah. Jadi, persepsi ‘masih sepantaran mereka’ ini kental banget. Dan saya nggak membatasi panggilan saat itu. Bahkan ada yang ingin memanggil mbak saja. Karena memang ada yang nyaris seumuran sama saya. Haha, jangan-jangan ada yang ngira umur saya dan mereka berapa ya bedanya? Dan ternyata memang ada yang beda cuma tiga tahun. Di kelas XII ada yang sudah berusia duapuluhan. Hehe.

  • Seperti saya bilang, faktor kebiasaan mendominasi kita berbahasa. Mau tidak mau saya sebutkan ada anak-anak yang sempat terputus sekolahnya, atau tinggal di lingkungan Texas, yang tingkat bahasanya itu—ya—gitu-deh-lagi. 
    “Anj***!! >>teet sensor<< masuk lagi dia hari ini. Ada pelajaran dia kah hari ini? Aih, malesnya aku.” Hahaha. Dibawa ketawa dulu ya, biar nggak nyesek di hati. 
Fasilitas seadanya:

Fasilitas juga nggak kalah seadanya. Tidak banyak ornamen di kelas dan sarana-prasarana untuk mengajar. Dan kalau pun ada sempat dirusak oleh anak-anak. Hal ini pernah kejadian di tahun terakhir saya mengajar. Dengan kelas yang tidak sama. Ada tengkorak yang patah tulangnya, sampai susah sekali tuk berdiri dan lebih baik masuk lemari, botol-botol lab yang pecah dan, gangguan listrik, ah banyak deh.

Balik lagi ke tahun-tahun awal. Tentang yang seadanya ini. Ada satu hal yang fatal menurut saya. Di sekolah ini hanya terdapat satu toilet. Yang tidak bisa digunakan untuk BAB. Hanya untuk BAK. Nah, ini fatal menurut saya. Karena untuk mengeluarkan hajatnya anak-anak harus ke kantor dulu (karena toiletnya kan satu paket ama kantor) atau izin keluar. Ini dia yang jadi masalah. Kalau sudah di luar, eng ing eng, iya kalau balik. Setelah kembali pun aroma mereka udah macam-macam. Baca seri ini dulu ya, biar ngerti aroma apa. Hal yang sama pun terjadi pada kantin. Jadi, kalau lapar ya… keluar. Lagi.

Iya, iya, saya yakin pasti ada yang mikir, ini gurunya kemana?

Ketika berkumpul dengan rekan mengajar, kami sering sharing tentang kelakuan murid. Kalau saya bukan sharing, tapi cukup menyimak saja. Ada seorang guru yang dengan semangat bercerita, di tahun-tahun ajaran sebelumnya (yang katanya lebih parah dari tahun ini) dia pernah diancam murid. Karena guru ini tipikal yang blak-blakan dan keras dalam berbicara. Dalam ceritanya lagi, si murid pernah membawa segerombolan temannya mendatangi si guru. Wallahu’alam mau ngapain. Usut punya usut dendam si murid mau tak mau harus berakhir, karena ternyata gerombolan temannya ini adalah juga mantan murid si guru. Cerita ini lebih banyak dan lebih berkembang lagi, dengan segala keunikan, keanehan, ketidakwajaran yang mewarnai pendengaran saya.

Guru-guru di sekolah ini tidak bisa dibilang tinggal diam melihat kelakuan anak didiknya yang di luar aturan. Aturan bahkan dengan tegas dinyatakan saat awal perjumpaan, tidak hanya bersama mereka namun juga bersama para wali murid. Setiap guru punya karakter yang berbeda, cara menangani murid yang berbeda. Dengan caranya itu, para guru tetap mengedepankan aturan.

Tiap kali ada yang melanggar tentu saja ditegur, diberi peringatan, diberi sanksi. Diulang lagi, ditegur lagi, sanksi lagi. Diulang lagi, diberi lagi hukuman, dibuat beda hukumannya agar tersentuh saraf insafnya, dinasehati pula. Diulang lagi, sampai lagi nasihatnya, untuknya, untuk walinya.

Begitulah, berulang kali. Entahlah, ada kalanya hukuman terlihat bagai sebuah berlian di mata mereka. Rasanya kalau belum dihukum guru, belum gentle gitu. Saya juga tidak bisa menampik kalau guru juga bisa kewalahan. Kuantitas dan kualitas guru memang masih kurang. Banyak guru yang nyambi ngajar di sekolah lain. Otomatis, ada yang datang hanya untuk mengajar. Ada murid yang tidak masuk? Ya sudah, bolos lah itu namanya. Mau mencari harus kemana? Orangtuanya dimana? Jangan salahkan guru yang seperti ini, mereka juga punya sosok yang harus dinafkahi dan diurus di rumah.

Sementara guru-guru yang menetap jumlahnya sedikit. Seringkali harus keluar dan mengejar murid. Saya tidak pernah satu kali pun ikut. Namun tetap saja, kalau terjadi momen yang begini, biasanya saya galau dan lelah hati. Ya, ini zaman apa sih, guru sampai ngejar-ngejar murid. Mencari ke tempat-tempat mangkal, tempat-tempat yang tidak layak dimasuki. Ke rumah kawan-kawan mereka. Kadang ditemukan, lebih seringnya tidak. Dan ada… ya ada, yang ketika nyaris tertangkap basah, justru melarikan diri sambil tertawa-tawa. Seolah menganggap pengejaran seperti ini mengasyikkan.

Saya tahu kualitas guru harus diperbaiki. Apalagi saya, yang cuma guru apalah. Tapi, selain itu saya juga berpikir anak-anak ini juga harus berubah. Tidak dengan hanya menitipkan perubahan mereka di tangan guru. Mereka ini manusia, bukan robot yang bisa diutak-atik seenaknya. Sementara akses pengrusakan di sekitar generasi muda lebih kencang dan lebih dapat diterima oleh mereka sendiri. Sementara lingkungan mereka pun sama mengkhawatirkannya. Dan nasehat orangtua hanya kabut tipis yang pasti segera lenyap. Saya menyebutnya bagai lingkaran setan. Harusnya sih setiap sisi berbenah.

Seharusnya.

Saya kasih gambaran latar belakang yang sepertinya belum tuntas saya gambarkan. Banyak dari anak-anak ini dulunya ikut kejar paket. Jadi bukan sekolah seperti umumnya. Ada yang pindahan dari sekolah lain karena dikeluarkan. Kasusnya macam-macam. Ada yang tidak tinggal di kota ini, sehingga harus bolak-balik ke kampungnya. Kedengarannya sepele, tapi kalau mereka capek ya bolos deh sekolahnya. Termasuk yang broken home juga ada. Sekomplit-komplitnya gini masih ditambah dengan karakter-karakter unik mereka. Ada yang introvert abis ((abis)). Ada yang extrovert abis ((abis)). Anak SMA karakternya mirip anak TK. Dan saya suka gemes kalau ada yang ngomong begini:

“Sabar bu. Maklumi aja bu. Namanya juga kita masih anak-anak.”

Anak-anak? Anak-anak apa yang sudah bisa bikin anak?!

Ini sih udah bukan anak-anak lagi. Calon bapak-mamak semua.

Meski begitu, sebenarnya saya jarang marah kok. Jarang banget. Kesel iya, sedih, galau. Saya tipikal yang masih bisa diajak becanda kok. Dan bisa juga kekanakan. Semisal, ada yang salah kemudian saya beri teguran dan diabaikan, itu nggak masalah buat saya, nggak bikin marah. Saya juga pernah memberi teguran, lalu si anak cuma ngeliatin saya dari ujung kepala sampai ujung kaki, diulang-ulang, terus dia mendengus sambil bilang “hah!”dan pergi begitu aja. Itu pernah saya alami. Nggak, saya nggak marah kalau cuma begini. Dibawa ketawa aja biasanya :D

Tapi, saya bisa marah kalau ada yang bertindak –hmm kata apa ya yang enak nyebutnya, porno?cabul? Hedeh, pokoknya itu deh. Kalau di kelas ada yang lagi pegang-pegangan, elus-elusan, jambak-jambakan, pangku-pangkuan *idih* cowok ama cewek. Wah, jelas es mosi jiwa rasanya.

Atau suatu hari, ketika selesai memberikan materi, bel istirahat berbunyi dan anak-anak berlarian keluar. Sementara saya baru selesai berbenah, seorang murid muncul dan mendorong saya menuju pintu. Sambil bercanda, dia berkata ayo kita istirahat bu dan apalagi gitu... saya lupa. Iya, saya lupa dan nggak fokus dia ngomong apa, yang saya pikirkan dan kemudian saya tepis adalah tangannya yang menyentuh punggung. Gila! Bukan apa-apa ya di punggungnya itu pas banget di tali bra. Terserah deh mau becanda atau apa. Tapi, ya nggak gitu lah.

Persoalan begini pun, mau dilaporin juga gimana. Meski rekan-rekan guru akan mendukung saya. Karena ujung-ujungnya pasti dianggap cuma pikiran dan perasaan saya pribadi. Guru harus mengerti murid. Muridnya mungkin nggak sengaja. Mungkin cuma kekesalan guru pribadi. Ya, salah juga kenapa mau jadi guru. Dan hal-hal lain yang mesti saya toleransi sendiri.

Jadi, biarlah saya tulis disini saja, hehehe.

Apa semua murid seperti itu?

Tentu tidak. Banyak kok yang baik. Baik banget. Ada juga yang punya prestasi. Ada yang sampai hari ini masih berteman dengan saya. Ada kok. Dan ada juga yang menjadi guru. Sumpah, saya sempat kaget. Karena anak ini terkenal nakal. Tapi, itu masa lalunya. Ujung-ujungnya sekarang dia mulai menghargai profesi guru.

Oya, anak yang nyeret kursi itu sebenarnya di tingkat XII, sudah lebih kalem dari sebelumnya. Dia sudah bisa mengetuk pintu kantor dan mengucapkan salam. Dan sangat santun ketika menyapa saya.

Yah, begitulah. Mengajar itu seni, dan setahu saya melahirkan karya seni bukan proses yang mudah.

Btw, tidak terasa ini udah lebih dari 1.800 kata, kasian aja kalau kepanjangan lagi.

Disambung lagi aja yah. Ssst ... ceritanya masih ada yang seru kok 
 :D :D. Ada yang mau tahu nggak kalau di kelas saya ngapain aja. Nggak ada ya?

Yah, pokoknya tahu-nggak-mau tetap saya tulis deh. *Maksa*



      

40 Komentar

Terimakasih telah membaca, silakan berkomentar yang baik. Mohon tidak menaruh link hidup, situs yang mengandung SARA, judi online, web scam dan phising, karena akan dihapus.

  1. Mbaaaa, ya ampuun, seru ceritanya. Semoga Allah SWT memberi kebaikan sama semua guru yang benar2 tulus dan berusaha keras berjuang membenahi pendidikan ya. Saya cuma setahun jadi duru SD, udah cukup kayanya. jadi gguru buat 2 anak di rumah aja kadang2 keteteran karena sambil ini itu :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin Allahumma amiin mbak Kania. Semoga mbak juga guru yang terbaik bagi anak-anak untuk menjadi unggulan dunia-akhirat :)

      Hapus
  2. wah, berat juga ya, tapi aku yakin mbak diberi kekuatan untuk membenahi semuanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. "membenahi semuanya" berat mbak Tira, apalah saya ini *_*

      Hapus
  3. Saya sebagai murid hanya bisa mendukung saja apa yang mau dilakukannya, ahi hi hi.

    BalasHapus
  4. Wahhh.. ternyata misteri guru-guru di ruang kelass terpecahkan yah kak.. XD dulu saya suka bingung tuh... Kalau di ruang guru, guru-guru ngobrolin apaan yahh.. ahahaha mengajar itu susah, bukan cuma membagikan ilmu, tapi juga membagikan karakter.. Dulu saya guru private, dan murid pertama saya tinggal kelas...*sedih* T______________________T

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi juga membagikan karakter ya?hmm..siiplah. Masa' misteri?hihihi, berarti kakak Iip jarang berbuat onar, kalau onar pasti sering masuk kantor, dari situ sudah tidak ada misteri lagi.

      Hapus
  5. Waah gak nyangka seberat itu ya mbak, teteeuup semangaat mbaak. Oiya salam kenal dari aku :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal jua Revi :) ini masa lalu kok Revi.
      Alhamdulillah tetep semangat, nanti mampir lagi ya kasih saya semangat lagi #eaaa

      Hapus
  6. Oh-em-ji Lidha, -______-
    Kalau ada produser baca bisa dibikin film kali nih. Atau kamu bikin buku aja. Judulnya udah nemu tuh "Catatan Guru Apalah Apalah" XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. ooo-em-ji Nyaak *kiss-kiss*
      Kok bisa mikir gitu, ayo-ayo mana produsernya..sini-sini, wkwkwk *demi apa coba*
      Judulnya nggak enak ah Nyak, kalau disingkat jadi "Cagur Apalah" XD

      Hapus
  7. MasyaAllah tulisannya buat terharuu, teruslah berkarya dan sabar dalam menjadi guru ya mbak, ingt ilmu yang diberikan oleh guru kepada murid akan terus mengalir :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Bunga, btw ini udah berlalu lho :)

      Hapus
  8. Wow, jadi tahu cerita guru dan murid di Kalimantan sana
    tiap daerah selalu berbeda kebiasaan ya
    hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teh Oktiiii, jangan digeneralisir Kalimantan.
      Bisa beheye, kalimantan luas atuh teh.
      Dan ini bukan kebiasaan di Kalimantan :)

      Hapus
  9. Kalau saya, membaca tulisan ini membuat saya berpikir tentang nilai-nilai budaya di berbagai daerah. Mungkin, bagi beberapa, tingkatan atau level bahasa di daerah tersebut ada atau justru tidak ada. Ada, dan bisa jadi di daerah tertentu memang 'terbiasa' dengan level bahasa di tingkat bawah ya.

    Tapi, untuk perilaku, yang berlatar moral, ini sebenarnya PR bagi banyak orang. orang yang sok 'kota' hanya akan nyinyir tentang 'perilaku orang desa', padahal nyatanya perkembangan ini juga didasari dari wawasan yang 'sedikit kurang' terhadap penempatan diri dan kemahiran bahasa.

    Semoga guru2 di seluruh pelosok tetap semangat dan mau menebar kebaikan serta ilmu untuk banyak anak-anak.

    BalasHapus
  10. Mbak, menarik sekali ceritanya. Duh itu di kelas pangku pakngkuan ya -.-
    Saya belum baca yang part 1 nya. Penasaran sekali. Tetep semangat ya mbaak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih ^^ udah mau mampir.
      Saya sudah move on ngajar. So, mari kita semangati para pendidik-pendidik yang lain.

      Hapus
  11. Waduh, perjuangan, Mbak.. sabar ya.. Insya Allah menjadi ibadah. Aamiin..

    BalasHapus
  12. Mengingatkan diriku dulu merintis juga dari nol, mbak. Alhamdullilah lambat laun ada perubahan. Semoga perjuangan sebagai guru tetaaplah dikenal sebagai pahlawn tanpa tanda jasa.

    BalasHapus
  13. Gurunya mesti ekstra sabar.
    Saya punya teman yang dulunya suka ngepil dan teler di sekolah. Senang sekali ketika bertemu dgnnya, hidupnya lebih baik, karir, bisnis, keluarga sukses. Badannya sdh agak gemuk. Biasanya kan org begitu kurus dan tampak gak sehat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak Nur Rochma.
      Iya, saya juga senang sekaligus takjub bila bertemu dengan seseorang yang telah berubah menajdi baik

      Hapus
  14. hah? aku kaget baca tulisanmu ini.. ini sekolah apaan sih? kok boleh ngecat rambut dan pake anting? di jakarta kayaknya nggak boleh deh kecuali jika ada surat keterangan bahwa dia memang punya pekerjaan tertentu (artis misalnya). Tapi tetap sih siswa cowok nggak boleh pake anting apalagi sampai berderet-deret.... apa di kalimantan ini sudah umum ya dibolehkan?

    yang sabar ya mbak... iya, kadang budaya dan lingkungan juga mempengaruhi sih perilaku seorang anak ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Mak Ade, makasih udah mampir ya :)
      Aduh, saya mesti ralat besar-besaran nih. TIDAK DIBOLEHKAN Mak, sekali lagi TIDAK BOLEH.
      Dan ini BUKAN BUDAYA KALIMANTAN, wah bisa dimarahin orang seKalimantan saya mak :D

      Hapus
  15. mb lidha ternyata guru bp kah?? uwaaa

    yaampun ku speechless ngliat tingkah anak-anak didikmu ituh mb
    waduh

    itu beneran ada mb, waktu itu mb domisili di mana memang
    soalnya pas skul di kampung perasaan dulu temen temenku ga ada yang sefrontal itu
    aku baca kisah ini jadi berasa inget film Great Teacher Onizuka ahahahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. bukan guru BP dik Nita :)
      Baru tau filmnya, kepoin ah..

      Hapus
  16. hanya bisa menarik napas panjang sekaligus geleng-geleng kepala membaca kisah Mba Lidha ini :(

    di sekolah saya dulu banyak juga anak-anak nakal tapi gak sampe segitunya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe, jangan lupa dikeluarkan setelah panjang-panjang nariknya ya :D

      Hapus
  17. mbak lidhaa, aku baca dari awal sampek akhir kayaknya sih gak ada yang terlewat dibaca
    salut luar biasa
    seru, mbak lidha luar biasa sabar lho
    sewaktu saya kuliah, dosen saya nyambi ngajar dan jadi dekan atau rektor di sebuah unive swasta yg mahasiswanya ya gitu deh. si bapak kasih aturan, anak yg IPnya diatas 3 boleh pakai tindik dan cat rambut. kalau kurang dari itu nggak boleh. imbasnya mahasiswanya jd pada rajin belajar karena cat rambut dan tindik bukan cuma lambang kekerenan biasa tapi juga kecerdasan.

    BalasHapus
  18. Sangat menarik sekali mbak ceritanya, untuk manfaatnya saya jadi lebih tau lebih jauh lagi tentang pembelajaran disana.

    BalasHapus
  19. Jadi guru itu emang tantangan banget ya Mbak. Saya pun mengalaminya bersama anak-anak yang masih ingusan. Dan setiap hari ada cerita.

    BalasHapus
  20. Mba lidha tetap semangat ya. Dulu waktu kakak saya pertama mengajar kurang lebih juga begitu ceritanya. Dia ngajar di pulau dekat perbatasan. Kata dia yg penting bisa menguasai hati anak2. Dan terbukti ia sekarang jadi guru tempat curhat dan dipanggil bunda... :-)

    BalasHapus
  21. Mauuu....pake banget, lanjutannya.
    Mba Lid bisa an ngaduk-ngaduk emosi....

    Saya jadi ikutan kesseel kalo ada yang pegang-pegang punggung gitu.
    Huuh!

    BalasHapus
  22. masih nunggu lanjutannya kita nah! hahahaha

    BalasHapus
  23. Percaya deh kl Mb Lidha gak bisa marah. Mukanya imyut2 gitu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. #eaaa udah nampilin yang paling kucel dan keriput masih dibilang imyut

      Hapus
  24. Yuk di-share lagi cerita ttg pengalaman ngajarnya, Mbak Lidha biar bisa jadi pelajaran buat guru2 muda. Soale banyak pelajaran yang bisa dipetik.
    Apalagi kalo ada proses dari yang kurang baik menjadi lebih baik, seperti apakah itu prosesnya, diceritain dong, di sini. Saya bbrp hari yang lalu sempat diundang PPG SM3T, para mahasiswa ilmu keguruan yang usai mengajar di daerah terpencil, kasih motivasi nulis. Saya berharap mereka bisa nulis juga kayak gini (sdah ada sih yang bisa nulis tapi bagus kalo semuanya bisa).

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama